Monday 18 February 2013

Mengajar Dari Hati

Hampir setahun yang lalu, ketika saya wawancara kerja di sekolah yang sekarang ini, saya mendapatkan "cerita seram" dari kepala sekolah, demikian juga ketika saya ngobrol dengan wakasis (wakil kepala bagian kesiswaan) kembali saya mendapatkan cerita seram dan kali ini lebih detail lagi.

Cerita seram tersebut bukan mengenai hantu di sekolah, preman atau penjahat di lingkungan sekolah. Tapi cerita seram mengenai attitude dari anak-anak yang bersekolah disini. Dan ternyata memang benar anak-anak disini benar-benar luar biasa.

Kebanyakan siswa siswi yang bersekolah disini berasal dari kalangan menengah kebawah, banyak dari mereka yang selama di rumah tidak diajari tata krama dan sopan santun. Sekolah kami berada di kota Solo, bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Jawa, dan dalam bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan penggunaan bahasa. Dan anak-anak tidak memahami hal tersebut. Sehingga ketika mereka berkomunikasi dengan guru mereka yang usianya lebih tua dari mereka seharusnya mereka menggunakan bahasa halus, tapi tidak mereka menggunakan bahasa kasar (ngoko kasar), dan bukan hanya bahasanya saja tapi juga dalam bersikap. Ketika berbicara dengan guru baik di dalam maupun di luar kelas, seperti ngobrol sama teman sebaya (salah satu contohnya ada di tulisan ini).

Dan itu juga belum seberapa. Menurut cerita wakasis dulu ketika awal berdiri (tahun pertama, angkatan pertama yang sekarang duduk di kelas 9) sikap anak-anak jauh lebih parah lagi, berkata kotor sudah merupakan bagian dari keseharian mereka. Namun sekarang sudah lebih baik.

Dalam setiap kali rapat koordinasi bulanan, kepala sekolah sering kali menyampaikan bahwa "kita mengajar anak-anak (yang bersekolah disini) itu harus dari hati". Dan memang ada benarnya. Dari rumah sudah diniatkan untuk mendidik anak, mentransfer ilmu, berbagi dengan mereka dengan harapan anak-anak akan tumbuh menjadi orang-orang yang berhasil, sukses mempunyai kehidupan yang lebih baik dari yang sekarang.

Dan ketika sampai di sekolah, masuk ke dalam kelas, disambut dengan celotehan anak-anak, clometan, nyemlong (kalau bahasa Jawanya) komentar-komentar usil atas apa yang kita sampaikan. Belum lagi bagaimana mereka bersikap terhadap guru-guru mereka. Harus sabar dalam menghadapi mereka, banyak-banyak dan sering-sering menegur dan kalau perlu menjewer ketika mereka melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya.

Kalau semuanya serba dipikir, serba dimasukkan hati segala ucapan dan tindakan mereka yang ada stroke dan darah tinggi dalam waktu kurang dari sebulan :))

Tapi ketika menyadari bahwa tugas guru lah membantu orang tua untuk menjadikan anaknya lebih baik, bahwa kekurangan-kekurangan dari si anak  merupakan tantangan untuk guru. Bahwa bagaimanapun juga mereka masih anak-anak dan tugas dari orang dewasa lah yang mengarahkan mereka.

Jika di rumah mereka tidak diajari mana yang pantas dan mana yang tidak, sementara di sekolahan mereka juga tidak diajari yang sama, hanya di marahi tanpa diarahkan. Dari mana mereka akan belajar? Bagaimana mereka bisa memahami kalau apa yang mereka katakan dan lakukan itu tidak tepat.

Seperti yang dikatakan oleh kepala sekolah. Bahwa mengajar memang harus dari hati. 

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai komentar, saran, kritik & masukan yang membangun. Komentar berupa spam, scam dan promosi akan dihapus, terima kasih.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites