Sunday 3 February 2013

Malam Minggu Anti Mainstream

Malam Minggu - malam Senin biasanya adalah saat MaGer saya (alias Males Gerak alias bersantai di rumah). Tapi apa daya malam Minggu kemarin saya "terusir" dari rumah gegera tetangga sebelah berisik nyetel musik kenceng-kenceng.

Tujuan pertama saya ke Pasar Gedhe untuk melihat suasana Pasar Gedhe yangah dihiasi lampion menyambut Imlek. Puas foto-foto, kepikiran untuk sekalian mampir ke klenteng yang ada di selatan Pasar Gedhe. Tapi apa daya klentengnya rame dengan umat yang tengah beribadah.

Saya kemudian pergi ke klenteng Po An Kiong di daerah Coyudan. Kontras dengan keadaan di Pasar Gedhe, klenteng Po An Kiong sangat sepi, saya lihat hanya ada dua orang laki-laki yang tengah duduk di teras klenteng.

"Permisi koh, boleh ambil foto di sini ndak?' Tanya saya kepada si kokoh.

"Tanya ke penjaganya saja." Kata si kokoh sambil menunjuk seorang berkaus merah yang mendatangi kami.

Saya ulang pertanyaan saya ke si kokoh yang baru datang.

"Kalau dari luar boleh, tapi klo di dalem harus minta ijin dulu." Kata si kokoh penjaga klenteng.

Errr.... Bukannya saya tengah minta ijin yak? Kata saya dalam hati.

"Jadi... dibolehkan ndak koh?" Tanya saya.

"Minta ijin ke dewa dulu" kata si kokoh menjelaskan.

Howgh... Ternyata itu maksudnya tho?

"Caranya gimana koh?" Tanya saya lagi.

"Beribadah dulu, minta ijin kepada Dewa nanti kalau diperbolehkan baru boleh ambil foto." Kata si kokoh.

"Lama ndak koh prosesnya?"

"Ya tergantung jawaban dari Dewa." Jawab si kokoh.

Seriously, klo ada kaca disitu pasti keliatan banget deh begonya saya, ndak paham dengan penjelasan si kokoh. Di lain pihak tertarik pengen tahu. Oh well... Terlanjur udah nyampe disitu kenapa ndak sekalian?

Prosesi meminta ijinnya cukup rumit. Sama kayak umat Khong Hu Cu beribadah pada umumnya.

Yang pertama adalah mengucap syukur dan meminta ijin kepada Thian (Tuhan YME) dengan cara membawa dupa dan membungkuk ke arah luar klenteng sebanyak 3 kali sambil mengucapkan doa. Setelah itu menancapkan dupa tersebut ke tempat dupa yang disediakan.

Kemudian berdoa kepada Dewa yang ada di tengah kleteng (saya lupa namanya) dengan tata cara yang sama, membawa dupa, membingkuk 3 kali sambil mengucapkan keinginan dan kemudian menancapkan dupa tersebut ke tempat yang disediakan. Bedanya kalau tadi menghadap luar kali ini menghadap kearah patung Dewa.

Yang ketiga adalah yang paling tricky, saya dan kokoh penunggu klenteng meminta ijin kepada Kong Tek Cun Ong, dewa klenteng Po An Kiong, caranya si kokoh berdoa (memohin ijin) dan kemudian jawaban dari Dewa melalui keping kayu yang di lempar.

Pertama si kokoh berdoa, kemudian melempar keping kayunya, keduanya menunjukkan sisi yang berbeda.

"Jadi nanti kita berdoa, kalau kepingnya menunjukkan sisi yang berbeda maka jawabannya iya, kalau sama-sama telungkup berarti jawabannya tidak, sementara kalau keduanya terlentang kita harus mengulang lagi karena permohonan kita tidak jelas." Kata si kokoh menjelaskan.

"Oh... Berarti saya di perbolehkan?" Tanya saya karena melihat kedua keping kayu tersebut menunjukkan sisi yang berbeda.

"Belum... Tadi saya baru tanya apakah Dewa sudah hadir di sini atau belum." Jawab si kokoh.

"Oh..." Jawab saya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Nah tricky nya disini karena kita tidak pernah tahu bagaimana kedua keping kayu tersebut akan menghadap. Setelah beberspa kali mencoba barulah kami berhasil, Dewa mengijinkan saya untuk mengambil foto.

Ruangan klenteng Poo An Kiong tidak terlalu besar. Berbagai macam sarana ibadah, dari mulai patung-patung Dewa, altar persembahan, tempat dupa terletak di seluruh bagian kleteng. Dupa berbentuk lingkaran mirip obat nyamuk super jumbo tergantung di langit-langit klenteng ditemani puluhan lampion berwarna merah beraneka ukuran.

Sementara perlengkapan ibadah lain seperti dupa dan lilin beraneka ukuran, kertas doa dan lain-lain berada di pojokan klenteng.

Kata si kokoh hampir semua yang ada di klenteng tersebut adalah sumbangan dari umat. Jadi tak heran kalau pada altar dan lampion tertulis nama atau perusahaan yang menyumbang. Kebanyakan buatan lokal, sementara untuk patung-patung Dewa berasal dari Cina.

Klenteng ini sudah berumur lebih dari 200 tahun, walaupun sudah mengalami beberapa kali renovasi tapi secara umum klenteng ini masih mempertahankan material asli, terutama ukiran-ukiran penghias klenteng pada pintu, tiang, tembok dan langit-langit.

Anyway, seru lho pengalaman kemarin, bisa jadi alternatif kegiatan ber malam mingguan yang anti mainstream :D

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai komentar, saran, kritik & masukan yang membangun. Komentar berupa spam, scam dan promosi akan dihapus, terima kasih.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites