Thursday 31 January 2013

Hati (Harus) Seluas Samudera

Tahun ini adalah tahun ke empat saya menjadi seorang pendidik. Setelah 4 tahun dan dua kali mengajar di tempat yang berbeda, saya semakin yakin bahwa skill/ketrampilan/kecakapan utama yang harus dimiliki oleh seorang pendidik adalah kesabaran yang tak terbatas.

Bayangkan seorang diri menghadapi dan "melawan" sekelompok orang antara 30 - 40 orang dalam satu kelas dengan tingkah polah dan kepribadian yang berbeda-beda. Dan kalau mengajar lebih dari satu kelas berarti tinggal mengalikan jumlah tersebut dan akan menghadapi pula kepribadian dan tingkah polah yang lebih banyak lagi.

Beberapa waktu lalu, saya mendapati tiga orang siswa tengah duduk-duduk di dekat kamar mandi ketika pelajaran berlangsung, sewaktu saya tanya mereka bilang disuruh keluar oleh gurunya karena tidak membawa buku. Saya suruh mereka untuk ke perpustakaan dengan harapan mereka belajar dan tidak menganggu kelas lainnya.

Dengan sedikit menggerutu mereka akhirnya pergi ke perpustakaan, tapi alih-alih belajar mereka malah baca koran dan tiduran. Baiklah... Paling tidak mereka tidak nongkrong di sembarang tempat menganggu kelas yang lain dan mereka ter awasi.

Tak berapa lama kemudian guru mereka datang ke perpustakaan mereka dan kemudian memarahi mereka. Dengan nada yang lumayan tinggi.

Saya bisa memahami perasaan si bapak ini, berempati dengan beliau.

Anak-anak.memang sering kali bandel, mereka susah untuk diberi tahu, dinasehati. Bahkan terkadang atau malah sering kali mereka sengaja menguji kesabaran kita.

Dinasehati, mereka membantah. Dilarang mereka malah melakukan apa yang kita larang. Dan yang sering kali terjadi sering kali memancing emosi dengan tindakan ataupun ucapan-ucapan mereka.

Ditambah lagi dengan sikap orang tua yang cenderung pasrah, tidsk.mau tahu dengan kondisi anak-anaknya ketika di sekolah. Beberapa kali saya bertemu dengan orang tua siswa yang menyatakan "menyerahkan" anak kepada pihak sekolah (mongso borong kalau bahasa Jawanya), menyatakan sudah menyerah menghadapi anaknya. Yang parah bukan hanya orang berpendikan rendah yang menyatakan hal tersebut. Ada juga orang tua berpendidikan tinggi (sarjana) yang mengungkapkan hal tersebut.

Kalau orang tua yang diberikan amanah oleh Allah saja sampai berpikiran seperti itu, bagaimana dengan kami? Mendidik anak adalah kewajiban dari orang tua. Keluarga, sekolah, dan lingkungan adalah agen-agen yang mendukung orang tua dalam mendidik anaknya.

Guru sebagai orang tua kedua selama anak berada di sekolah. Mempunyai kedudukan yang sama dengan orang tua. Jika memang si anak bandel, sudah di nasehati dan tetap saja membandel maka guru boleh memarahi anak tersebut. Jika memang diperlukan adanya hukuman, maka seorang guru boleh menghukum anak tersebut. Dan hal ini berlaku untuk semua guru.

Satu hal yang harus di ingat adalah pengendalian diri dari si guru bersangkutan. Perlakukan anak seperti halnya anak sendiri. Jika harus memarahi ataupun menghukum maka hukumlah siswa tersebut seperti menghukum anak sendiri, hukum dengan kasih sayang, hukuman diberikan dengan tujuan agar si anak jera dan belajar dari kesalahan, bukan menghukum sebagai luapan emosi.

Terkadang, bahkan sering kali muncul perasaan capek, kesal menghadapi mereka, tapi kemudian pikirkan bahwa mereka anak-anak kita dsn tugas kita lah untuk mendidik mereka.

Dan pada akhirnya mereka akan melakukan hal yang sama kepada generasi setelah mereka.

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai komentar, saran, kritik & masukan yang membangun. Komentar berupa spam, scam dan promosi akan dihapus, terima kasih.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites