Sekolah

Cerita-cerita yang terjadi di sekolah

Cerita Sehari-Hari

Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

Internet

Segala sesuatu yang berhubungan dengan internet dan blogging

Jamban Blogger

Jamban Blogger

Tulisan Jaw merupakan anggota dari Jamban Blogger

Tuesday, 1 November 2016

Cerita Tentang Kunjungan Rumah

Beberapa waktu lalu, saya menemani wali kelas untuk melakukan kunjungan rumah ke salah satu siswa kelas 7 yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah, bersama dengan dua orang teman sekelasnya. Sebut saja namanya Fulan.

Informasi awal yang kami peroleh Fulan tidak memiliki masalah permasalahan baik dengan temannya (sekelas maupun kelas lain) dan juga dengan guru. Fulan termasuk siswa pendiam, terlebih karena masih kelas 7, masih dalam taraf penyesuaian.

Agak jauh perjalanan kami menuju tempat tinggal Fulan, saya rasa kalau Fulan berangkat sekolah naik sepeda maka butuh waktu sekitar 30 menit. Jarak yang cukup jauh untuk seorang anak. Setelah mencari kesana kemari, akhirnya ketemu juga dengan rumah Fulan.

Rumah Fulan terletak nyempil sendirian di tanggul, tanpa halaman sehingga kami harus memarkir motor di jalan dan mendaki bukit kecil menuju rumahnya yang hanya semi permanen terbuat dari anyaman bambu.

Singkat cerita, si Fulan ternyata berada di rumah dan kami pun ngobrol bersama. Tak berapa lama ibunya datang tergopoh-gopoh dari arah lain. Kami mencoba mengorek keterangan dari Fulan dia tidak masuk sekolah, dan dia hanya diam saja tidak menjawab. Ibunya juga berkata kalau anaknya tidak pernah cerita apa-apa, tidak pernah juga mendengar kalau anaknya ada permasalahan di sekolah. Di rumah juga tidak ada masalah. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki mereka baik-baik saja.

Setelah bercerita panjang lebar, si ibu pun bilang kalau seragam pramuka Fulan yang sudah dijahitkan belum bisa diambil karena belum ada uang. Kami pun jadi mahfum, bisa jadi ini yang menjadi penyebab Fulan tidak mau masuk sekolah, karena malu. Terkesan sepele, tapi realitanya banyak siswa yang mogok sekolah hanya karena permasalahan yang lebih sepele lagi, tidak diberi uang saku yang cukup misalnya.

Seragam memang salah satu syarat untuk bersekolah, namun sekolah kami memberikan kelonggaran, tidak terlalu menekan terhadap siswa yang kurang mampu. Hal itulah yang coba kami sampaikan kepada Fulan. Dan bahkan Fulan bukanlah satu-satunya siswa kelas 7 yang belum bisa berseragam, ada 3 temannya yang lain yang masih belum berseragam, dan sekolah tidak mempermasalahkan hal itu, bendahara sekolah tidak mengejar orang tua untuk segera melakukan pelunasan uang dan atau segera menjahitkan seragam sekolah anaknya, sekolah juga tidak menekan siswa atau orang tua siswa yang bersangkutan, memberikan perlakuan berbeda kepada siswa bersangkutan, atau perlakuan-perlakuan lain yang tidak menyenangkan. 

Walaupun secara logika seharusnya orang tua "mengalah" untuk mendahulukan kepentingan pendidikan anak-anaknya. Tapi sekali lagi kami mencoba memaklumi, bisa jadi memang orang tua siswa kami dalam kondisi yang benar-benar tidak mampu, atau ada hal yang lebih penting yang harus didahulukan.

Berkali-kali kami membujuk Fulan untuk kembali bersekolah, berkali-kali pula kami tekankan bahwa tidak apa-apa jika Fulan belum bisa berseragam seperti teman-temannya yang lain, sekolah tidak akan memaksa dan teman-temannya juga tidak akan menghina. Namun sekali lagi Fulan hanya diam bergeming.

Menjelang akhir kunjungan rumah, wali kelas Fulan memberikan sumbangan kepada ibu Fulan untuk mengambil seragam Fulan, sambil sekali lagi menekankan kepada Fulan betapa kami berharap Fulan bersekolah kembali. Sekolah, guru dan teman-teman Fulan.

Keesokan harinya, ternyata Fulan belum masuk juga, sampai beberapa hari berikutnya masih juga belum masuk sekolah. Sampai, hampir seminggu setelahnya wali kelas mengabarkan kalau beliau memperoleh informasi kalau uang sumbangan yang diberikan kemarin disalahgunakan oleh orang tua Fulan (dalam hal ini ibunya). Sesuatu yang membuat kami masyul.

Kami menyadari dan memahami sepenuhnya kondisi (perekonomian) keluarga Fulan, dari rumahnya yang sekedar nempel di tanah milik negara, dari pekerjaan bapak dan ibu Fulan yang buruh kasar serabutan dengan pendapatan yang tidak menentu. Tampa harus melakukan kajian mendalam pun kami memahami sepenuhnya dan tidak menuntut berlebih kepada mereka. Namun sekali lagi tindakan ibu Fulan tersebut membuat kami merasa masyul, nglokro. Huftable kalau kata saya. Koq ya tega tho ibunya? :(

sekolah sudah berusaha sekuat tenaga, bukan hanya fisik, pemikiran namun juga nurani untuk melayani masyarakat, bukan hanya mengajarkan anak-anaknya berhitung, membaca dan menulis tapi juga membentuk watak, kepribadian dan akhlak. Melaksanakan semua kewajiban sekolah kepada siswa dan orang tua dengan tanpa memaksa menuntut hak siswa/orang tua kepada sekolah, bahkan membantu orang tua untuk bisa melaksanakan kewajibannya. Disitulah saya merasa sedih. Pendidikan tidak bisa berjalan dengan baik, bukan hanya karena sistemnya yang masih belum sempurna, ditambah lagi orang tua yang tidak menyadari peran sertanya dalam mendidik anak.

Friday, 9 September 2016

Menyoal Pedofilia dan Prostitusi anak

Foto diambil dari sini


Akhir-akhir ini kita sering sekali mendengar, melihat dan membaca kejadian pemerkosaan/ pelecehan seksual dengan korban anak dibawah umur. Ada yang siswa/siswi SMP, SD bahkan balita pun juga ada. Walaupun pemberitaannya sudah sayup-sayup terdengar di TV, koran maupun media sosial, namun masih bisa kita temui dan baca beritanya dengan bantuan mbah Google (salah satu hasil pencariannya bisa dibaca disini). 

Kasus terbaru yang masih amat sangat hangat (karena kejadiannya baru akhir bulan Agustus kemarin) adalah prostitusi anak yang terjadi di Bogor (salah satu artikel tentang hal ini bisa dibaca disini). Terlepas dari prostitusi anak tersebut untuk homoseksual ataupun heteroseksual, menurut saya prostitusi anak tidak seharusnya dan tidak selayaknya terjadi. Seorang anak tidak selayaknya dan sepatutnya melakukan hubungan seksual. Seorang anak seharusnya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain dan belajar, mengeksplorasi dunia dan berkreatifitas.

Saya yakin dalam kegiatan seksual anak menjadi obyek/ korban seksual, pun juga dalam kegiatan prostitusi anak. 80% bahkan 100% (perkiraan kasar saya) anak yang berkecimpung dalam prostitusi bukan atas kemauan sendiri, entah di bujuk, di rayu ataupun diancam oleh orang lain. Yang celakanya banyak juga kasus dimana pihak terdekat dari anak bersangkutan yang justru memasukkan anak ke dunia prostitusi (entah keluarga, tetangga ataupun kenalan).

Harus dipahami bersama bahwa kegiatan seksual merupakan hak prerogatif orang dewasa, dimana seseorang sudah matang secara baik fisik maupun mental. Sehingga dia tahu dan memahami apa yang terjadi serta konsekuensi ketika dia melakukan hubungan seksual. 

Ketika seorang anak dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, konsekuensi jangka panjangnya akan jauh lebih banyak daripada orang dewasa yang dipaksa untuk berhubungan seksual. Secara logika, masa depan seorang anak usia dibawah belasan tahun lebih panjang dibanding orang dewasa usia diatas 20an tahun. Kejadian pemaksaan hubungan seksual terhadap anak (baik melalui prostitusi maupun pemerkosaan) akan menimbulkan trauma bagi anak bersangkutan, ibaratnya menjadi sebuah luka yang susah (atau bahkan tidak bisa) sembuh. 

Ada teori (dari ahli psikologi terutama) yang menyatakan bahwa kebanyakan pelaku pedofilia dulunya merupakan korban (artikel mengenai pedofilia bisa dibaca di halaman wikipedia, jangan lupa juga dibaca halaman tentang Hebefilia dan Efebofilia). Salah satu contoh pedofil yang dulunya mantan korban adalah babe seorang "pengasuh" anak jalanan yang tega "memakan" anak asuhannya sendiri. Bisa dibayangkan para korban pedofilia kemungkinan masa depannya akan seperti apa. Tidak kalah parahnya, ada pedofil  yang membunuh obyek seksualnya, sebelum atau sesudah melakukan hubungan seksual.

Sebuah kejadian yang sepantasnya menjadi perhatian bersama. Pemerintah terutama harus mengambil langkah cepat dan tepat dalam mengatasi dan mencegah kejadian ini berulang di kemudian hari. Penutupan dan pemblokiran akses terhadap prostitusi anak (baik online maupun offline), edukasi kepada masyarakat (anak-anak, orang tua maupun masyarakat umum) bekerja sama dengan berbagai pihak (sekolah, RT, RW, Rukun Warga, Dharma Wanita, LSM, dan siapapun pihak yang peduli dengan masa depan anak-anak). Dan yang tak kalah pentingnya adalah pemberian hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku Pedofilia, Hebefilia dan Efebofilia. Hukuman semacam hukuman mati ataupun kebiri suntik pantas untuk diberikan kepada mereka terlebih jika disertai dengan pemberatan berupa pembunuhan. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak pasti menghilangkan jumlah kejadian, tapi secara logika, jika orang masih punya akal pasti akan berpikir berkali-kali sebelum melakukan hal tersebut. Demi mengejar kenikmatan sesaat masak mau mengorbankan kenikmatan selama-lamanya? Dipercepat menghadap Sang Pencipta sebelum bertobat? 

Kalau ada yang berkomentar hukumannya tidak manusiawi, lebih tidak manusiawi mana dengan berhubungan seksual dengan anak dibawah umur terlebih disertai dengan pembunuhan?

Masyarakat, dalam hal ini keluarga juga harus lebih waspada, protektif terhadap anaknya. Perlakuan terhadap anak laki-laki dan atau perempuan harus sama karena kedua-duanya bisa menjadi korban. Pendidikan yang baik, membangun kedekatan secara fisik maupun emosi, batin terhadap anak. Membuat anak merasa nyaman, aman dan mudah bercerita jika ada permasalahan. dan terlebih lagi, peka terhadap gejala sosial yang ada, sehingga bisa langsung mengambil tindakan pencegahan agar tidak terjadi pada keluarga. Jangan hanya "peka" saat tetangga membeli mebel baru, ganti kendaraan yang lebih mahal dan modern dibandingkan yang dimiliki. Peka saat rumah tangga orang lain tengah dilanda gonjang-ganjing yang diwarnai dengan piring beterbangan & pekikan-pekikan "nan indah"

Apalagi gonjang-ganjing dunia artis atau orang terkenal lainnya, haduuuuh... itu nggak penting... Mereka mau jumpalitan kayak apa juga nggak akan berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Hanya karena seorang terkenal tidak mau mengakui anaknya, listrik, gas LPG, bensin nggak akan naik, harga sayur, daging, ayam, telur maupun sembako juga nggak akan bakal naik gara-gara hal tersebut. Nggak usah membicarakan aib orang lain, sementara masing-masing dari kita punya aib sendiri-sendiri.

Saturday, 13 August 2016

Tiga Dara: sebuah Review Dengan Banyak Spoiler



Saya bukanlah seorang movie goers, yang suka nonton film. Bahkan bisa dikatakan saya cukup selektif dalam menonton film (alasan utamanya sih nggirit :p). Tapi ada kalanya saya pengen nonton film, karena saya pengen nonton saja, tanpa perlu pertimbangan macam-macam, dan kali ini adalah salah satu dari (sedikit) diantaranya.

Tidak banyak yang saya tahu (dan cari tahu) mengenai film ini sebelumnya. Bisa jadi ketertarikan utama saya untuk menonton film ini adalah fakta bahwa film ini adalah film jadul yang direstorasi, jadi saya pikir pasti ada sesuatu di dalam film ini. 

Tanpa ada ekspektasi/harapan apa-apa, dengan semangat empat lima saya menonton film ini. Mengajak seorang teman yang juga tidak tahu apa-apa tentang film ini juga.

"Kalau mau ikut ya ayuk, kalau enggak ya nggak apa-apa, aku nonton sendiri."

Daaan... Akhirnya dia ikut nonton juga :))

Anyway, berhubung tulisan ini berjudul review, jadi saya bagi menjadi dua, keunggulan dari film ini dan kekurangan dari film ini. sekali lagi spoiler alert yak

Keunggulan.

Bagi saya originalitas merupakan keunggulan utama dari film ini. Berhubung film ini dibuat tahun 1950-an, maka segala sesuatu yang ada di film ini sepenuhnya menggambarkan keadaan tahun tersebut. Ya suasananya, ya model/ cara berpakaiannya, ya kebiasaan saat itu, ya bentuk bangunannya, dan lain lain, dan lain lain.

Tidak seperti film modern yang mengambil setting jaman dulu yang terkadang suka meleset/ tidak sesuai/ terlalu artifisial dibanding realitasnya.

Saya senang melihat model pakaian yang mereka kenakan, yang pada jaman dahulu dianggap "super keren". Masih banyak wanita yang mengenakan kebaya dalam keseharian mereka (bahkan saat di rumah). Kebaya yang benar-benar kebaya, menggunakan bawahan kain batik, memakai stagen untuk mengikat dan semacam kaos dalaman khusus untuk wanita. Pakaian modern yang dikenakan saat itu baik wanita maupun pria, dan yang tak kalah saya nikmati adalah latar belakang yang dipakai, tidak kebayang kalau jaman dulu Jakarta begitu sepi, orang masih naik sepeda dengan santai, ada becak dan juga kota Bandung yang digambarkan begitu tenang. jauh berbeda dengan keadaan sekarang yang penuh kemacetan di kedua kota tersebut. Bahkan film yang hanya hitam putih menjadi sebuah keunikan sendiri untuk dinikmati.

Kelemahan

Ide cerita. Well... Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, ide cerita dari film ini terlalu lame, seorang nenek yang bawel dan penuntut menginginkan cucu pertamanya untuk segera menikah, for the sake of dia sudah terlalu tua dan dia ingin menimang cicit dari cucu pertamanya sebelum dia meninggal. Bahkan menurut saya cenderung merendahkan martabat kaumnya sendiri, terlebih ketika adegan si nenek meminta anaknya (ayah dari ketiga dara ini) untuk mencarikan jodoh bagi anak tertuanya, dikenalkan dengan seorang pemuda yang gagah, kalau tidak ada pemuda ya jangan yang tua-tua amat, kalau bisa seorang jejaka, kalau tidak ada duda tidak apa-apa, asal anaknya jangan banyak-banyak, maksimal 3. 

Yang kemudian menjadi sebuah keegoisan ketika cucu kedua menyatakan kalau dia dekat seorang lelaki, mereka sudah bertunangan dan siap untuk menikah, yang ditentang habis-habisan oleh sang nenek, dengan argumentasi bahwa keluarga harus mengenal lebih dekat, tidak boleh gegabah, terburu-buru, dll. segala macam alasan yang sangat kontras perbincangan antara sang nenek dengan sang ayah sebelumnya mengenai perjodohan cucu pertama. Yang mana ketahuan bahwa si pemuda oleh si nenek di plot untuk dijodohkan dengan cucu pertama.

Alur cerita. Melihat film ini menurut saya seperti melihat fragmen/ adegan-adengan yang walaupun secara garis besar berhubungan satu sama lain, tapi secara detail terputus satu sama lain. Semisal adegan saat Dara Pertama diajak oleh Dara Kedua ke pesta agar bisa bertemu dengan laki-laki dan kemudian jadian. Beberapa pesta yang dihadiri tidak jelas siapa yang mengadakan pesta dan pesta dalam rangka apa. Yang saya rasakan lebih kepada beginilah muda-mudi saat itu mengadakan pesta, ada pesta modern, ada juga pesta (dengan nuansa) tradisional. 

Diskontinuitas dan keanehan. Sepanjang yang saya tahu kontinuitas dalam adegan sangat penting dalam sebuah film, tapi di dalam film ini banyak sekali diskontinuitas yang saya lihat, misalnya dalam satu adegan ada tas tangan kecil diatas meja, namun di adegan berikutnya tas tangan tersebut sudah tidak ada. Selain itu, banyak keanehan yang menurut saya tidak masuk akal. Misalnya, adegan dimana Dara pertama keserempet oleh seorang pemuda, marah-marah karena merasa dirinya benar tidak mau dibantu akhirnya pulang sendiri naik becak (perhatikan baik-baik adegan ini, ungkapan bahwa wanita tidak pernah salah ternyata sudah ada sejak 60 tahun lalu, bahkan saya curiga, gara-gara film ini muncul ungkapan tersebut :D). 

Dara pertama pulang ke rumah, yang diikuti oleh sang pemuda, yang kemudian bertamu meminta maaf, daaan... disambut hangat oleh sang nenek bahkan saat akan pulang disarankan untuk sering-sering datang. 



I feel like, what the??? Bagaimana kalau si pemuda orang yang nggak bener? Memangnya jaman dulu tidak ada pemerkosa? Tidak ada b*jingan? 

Akting, saya sering mendengar artis senior yang komplain, bahwa akting pemain film / sinetron sekarang kurang menjiwai, tidak seperti akting para pemain film jaman dahulu. Tapi kalau ngelihat film ini, rasanya like... wut??? Let's just said that bagi saya tidak seperti aktingnya Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Dian Sastrowardoyo yang mendapat banyak pujian

Kesimpulan

Walaupun sebenarnya masih banyak yang pengen saya tulis, tapi let's just stop here dan membuat kesimpulan untuk memberi kesempatan yang lain menulis review. Inti atau persoalan utamanya, apakah film ini layak di tonton? Bagi saya ya, film ini layak ditonton. dengan segala kekurangan yang dia punyai. Dan bahkan kekurangan-kekurangan tersebut menurut saya menjadi sebuah hiburan tersendiri, akting yang "wagu" dari pemainnya, alur cerita bikin garuk-garuk kepala, logika cerita yang nggak masuk logika saya dan segala yang ada di film ini.

Expect nothing from this movie jika anda pengen menontonnya. Jangan berharap yang terlalu tinggi, persiapkan diri bahwa anda menonton film untuk mencari hiburan, untuk tertawa, untuk melihat kehidupan jaman dulu dan saya yakin anda bisa menikmati film ini.

Oh iya, di awal film ada trailer film baru yang mengklaim terinspirasi dari film Tiga dara ini, which for me, I don't think that I want to watch it. No thank you. 

Wednesday, 10 August 2016

(Masih Tentang) Full Day School

Awalnya pengen nulis tentang wacana #FullDaySchool disini, untuk kemudian tersesat di twitterland saat mencari materi tulisan. Saya lihat tanggapan twitterian jauh lebih beragam dan "kejam" mengenai wacana ini dibandingkan dengan jamaah fesbukiyah maupun alayer instagram (no offense to anyone karena saya pengguna ketiga media sosial tersebut).

Menarik membaca berbagai tanggapan yang ada, dan yang paling menarik perhatian saya kontroversi klaim dari bapak menteri yang menyatakan ide Full day School terinspirasi dari sistem pendidikan di Finlandia (yang dinyatakan) sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia. Banyak yang membantah klaim tersebut, dikatakan bahwa sistem pendidikan tidak seperti yang dibayangkan bapak menteri. (Dua artikel tentang sistem pendidikan di Finlandia bisa dibaca disini dan disini)

Menurut saya ada dua "kesalahan" dari "wacana" mengenai Full Day School ini. Yang pertama, wacana ini terkesan mendadak, tergesa-gesa untuk di lontarkan. Sebagai orang yang memiliki jabatan Muhajir Effendi seharusnya memahami bahwa apapun yang dia ungkapkan terlebih dihadapan media, merupakan ucapan dia sebagai seorang menteri, bukan obrolan beliau sebagai orang biasa (obrolan warung) yang bisa dianggap angin lalu dan tak perlu ditanggapi. Butuh pemikiran dan persiapan yang baik dan matang. Terlebih saat pertama kali dilontarkan tidak ada penjelasan detail mengenai konsep Full Day School yang dimaksud, baru kemudian keesokan harinya ada penjelasan yang (agak) detail mengenai konsep yang dimaksud. Namun ada jeda waktu yang cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah polemik (terlebih di era dimana orang bebas mengungkapkan pendapat di berbagai media sosial). Menjadi anti klimaks ketika sore harinya beliau kembali mengungkapkan bahwa apa yang beliau katakan sebelumnya baru berupa wacana yang tidak harus terlaksana, sementara polemik, diskusi dan debat mengenai hal ini sedang hangat-hangatnya. Perlu dipahami juga kalau emikiran dan persiapan matang tidak mesti juga memakan waktu lama dalam memutus/ mengungkapkan gagasan.

Hal kedua yang menurut saya sebagai sebuah kesalahan (fatal) adalah klaim beliau kalau beliau terinspirasi dari sistem pendidikan di Finlandia. sebuah klaim yang segera mendapatkan bantahan disertai fakta-fakta karena sistem pendidikan di Finlandia tidak sesederhana itu (bahkan pembelajaran di sekolah - terutama sekolah dasar tidaklah sepanjang jam belajar di Indonesia). Tidak ada salahnya meniru/terinspirasi oleh sistem pembelajaran di negara lain, terlebih sistem pendidikan di Finlandia diakui sebagai yang terbaik di dunia. Tapi perlu dilihat baik-baik esensi (inti) dari sistem pendidikan di negara tersebut dan mana yang bisa diambil dan diterapkan di negara kita. Jangan sampai gagal paham seperti kemarin, hanya karena anak-anak di Finlandia pulang pukul 3-4 sore dikiranya mereka full day school, padahal aslinya mereka masuk sekolah pukul 8-9 pagi.

Kesimpulan:
Banyak kekurangan dalam sistem pendidikan Indonesia. Semua orang menginginkan perubahan dan pembenahan agar lebih baik yang pada akhirnya menghasilkan anak didik yang mumpuni. Dan Menteri Pendidikan sebagai pemimpin yang mengarahkan perubahan dan pembenahan tersebut harus memiliki kebijakan dan strategi dalam melangkah. Semoga harapan semua orang agar pendidikan Indonesia lebih baik bisa terlaksana, dan "kesalahan" di awal masa kepemimpinannya ini menjadi bahan pembelajaran untuk kedepannya bisa mengeluarkan kebijakan yang pas dan diperlukan.


Thursday, 10 March 2016

Mengenai Gagal Paham

Cerita ini terjadi beberapa waktu lalu saat ujian, saya lupa ujiannya apa. Yang saya ingat waktu itu saya nggawas di kelas 9. Saya nggawas bersama seorang guru senior (secara usia maupun kepangkatan), sebut saya namanya Mr. X (bukan profesor X yah :D). 

"Selamat pagi semuanya, ada yang kurang sehat hari ini?" Sapa Mr. X kepada anak-anak. 

Weh... Koq agak-agak berasa gimana itu yah sapaannya? Kenapa nggak bilang

"Sehat-sehat semuanya?" atau

"Ada yang sakit/ tidak enak badan hari ini?"

Oh well.... dan ternyata sapaan tersebut di tanggapi oleh anak-anak. Salah satu (sebut saja namanya Tulkijo) yang duduk di belakang menjawab

"Kurang uang pak." Katanya dengan nada bercanda sambil senyam-senyum.

Mr. X dengan nada agak naik bertanya

"Apa Jo?" 

Entah beliau beneran nggak dengar dengan jelas atau alasan yang lain. 

"Kurang uang pak." Kata Tulkijo dengan nada mbleret (lebih rendah, agak-agak di seret).

"Apa! Coba ulangi!" Kata Mr. X dengan nada yang lebih tinggi.

Dan (seperti yang sudah di duga), semakin mbleret lah si Tulkijo di bentak oleh Mr. X . Adegan pun berlanjut ke Mr. X memahari Tulkijo karena clometan (suka menyeletuk). 

Tulkijo memang anaknya suka becanda, menganggu temannya, nyeletuk saat pelajaran, tidur dan berbagai tingkah kenakalan dan kejahilan serta kejahilan lainnya saat di sekolah. Celetukannya sering kali keluar jalur, namun tak jarang masih di "jalur yang benar" kalau saya bilang lebih ke arah pencair suasana. Tinggal bagaimana kita menghadapinya.

Salah satunya di kejadian ini, Mr. X sebenarnya dikenal sebagai guru yang cukup dekat dengan anak-anak, sering becanda dengan mereka. Entah beliau saat itu tengah ada pikiran/ masalah di luar sekolah yang terbawa ke tempat pekerjaan. Atau beliau berpikiran negatif terhadap Tulkijo yang sudah ber "cap" anak bandel karena tingkahnya sejak kelas 7.

Saya merasa berada di posisi serba salah, saya tahu kalau Tulkijo tidak salah, bahwa kemarahan Mr. X salah sasaran, namun saya tidak bisa menegur/ menasehati Mr. X. Saya tidak bisa menemukan cara/ kata-kata yang pas, tidak menyinggung perasaan beliau dan tidak berkesan menjatuhkan beliau (terlebih di hadapan anak-anak).

Yang pada akhirnya saya lakukan adalah saya membesarkan hati Tulkijo, saat membagikan soal maupun saat meneliti pekerjaan anak-anak, saya sampaikan ke dia.

"Yang sabar ya Jo, jangan dimasukin hati. Hanya salah paham. Saya tahu koq kalau kamu tidak salah."

Semoga saja dia bisa menerima kata-kata saya, dan bisa "mengalah" walaupun dia masih kecil. Yang jelas, semula wajah dia ditekuk agak-agak gondok karena habis dimarahi, jadi sedikit berkurang. Terlebih saat melihat Mr. X ketiduran, dia yang paling semangat bilang:

"Pak di foto pak... "

"Jangan..." Kata saya sambil tersenyum

"Loh pak... Mr. X suka foto anak-anak klo pada lagi tidur di kelas loh..." Kata Tulkijo yang di iya kan oleh teman-temannya. 

Sekali lagi saya cuman ketawa kecil, walaupun dalam hati pengen juga ambil foto, tapi ya .. nggak sampai hati. Belum lagi ntar jadi gaduh kalau saya menuruti permintaan mereka.

Gagal paham, sering kali terjadi antara peserta didik dan guru, bukan hanya guru yang gagal paham terhadap apa yang disampaikan oleh peserta didik, tak jarang peserta didik yang gagal paham terhadap apa yang disampaikan oleh guru. Kehati-hatian oleh kedua belah pihak, mengatur emosi (terlebih guru sebagai yang lebih tua dan di tuakan) dan komunikasi yang baik. 

Saya pun sering kali mengalami gagal paham, terlebih kalau masuk kelas, yang satu bilang A, lainnya menyeletuk, yang lain lagi bilang apa lagi. Banyak informasi yang masuk, susah untuk saya tangkap. Biasanya saya akan bertanya dengan yang bersangkutan

"Apa? Ulangi saya tidak dengar." Dengan nada suara yang biasa, tidak naik yang menimbulkan kesan saya marah.

Dan kalau si anak mbeleret, saya akan berkata

"Apa? Ulangi tho, saya mana denger kalau kamu ngomongnya kayak gitu." Sambil menjaga nada suara saya tetap biasa dan kalau perlu mendekat kepada anak yang bersangkutan.

Dan ternyata hasilnya lebih positif, melatih anak untuk bisa mengungkapkan (berkomunikasi) dengan baik dan mencegah terjadinya gagal paham diantara guru dan peserta didik.

Saturday, 20 February 2016

Cerita Tentang Home Visit

Untuk menghadapi Ujian Nasional peserta didik kelas 9 disibukkan oleh berbagai macam kegiatan, diantaranya adalah try out UN, yang pelaksanaannya sampai beberapa kali. Ada try out yang diadakan oleh sekolah, ada juga try out kota (yang diadakan kemendiknas) dan try out dari kemenag (karena sekolah kami madrasah yang berada di bawah kemenag.

Try out kemenag sendiri diadakan hari Senin-kamis kemarin (15 -18 Februari 2016). Anak-anak, terutama kelas 9 sebenarnya sudah berkali-kali ditekankan pentingnya (semua) kegiatan sekolah, jangan sampai tidak masuk kelas dengan tanpa keterangan/ sebab yang jelas.Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga anak-anak. Ada saja yang membolos.

Salah satunya, seorang siswi kelas 9 sebut saja namanya Kenanga (karena Mawar sudah terlalu mainstream :D). Di hari kedua try out kemarin dia tidak masuk sekolah tanpa ada ijin. Berkali-kali nomor teleponnya di hubungi pun juga tidak diangkat. Setelah berkoordinasi dengan kesiswaan dan kurikulum diputuskan untuk melakukan home visit. Dan dengan mekanisme hompimpah saya lah yang dipilih untuk home visit. Just kidding... Bukan hompimpah, tapi yah pokoknya saya lah yang diminta untuk home visit. 

"Home visitnya nanti siang aja gimana bu, sekalian pulang." Kata saya, karena saat itu saya tengah tugas mengawasi ruangan.

"Jangan pak, seusai try out aja. Nanti kalau ditanya kepala sekolah ndak nggak bisa menjawab. Lagian rumahnya dekat koq pak" Kata waka kurikulum.

"Kemarin juga ada anak yang nggak masuk, alasannya juga sederhana." Katanya menambahkan.

Yaudahlah ya. Seusai try out dan saya mendapatkan ancer-ancer, berangkatlah saya menuju rumah Kenanga. Memang tidak jauh dan tidak terlalu sulit untuk di cari. Cukup sekali bertanya kepada tetangganya untuk memastikan rumah yang bersangkutan.

Sesampai di rumah Kenanga, saya disambut oleh seorang ibu yang berumur sekitar 50 - 60an, namun masih terlihat energik.

"Ibu, Kenanganya ada?"

"Oh ada, bentar. Masuk dulu pak guru"

"Nduk... Kesini, ada pak guru yang dateng." Kata si ibu memanggil Kenanga.

Sambil menunggu Kenanga, saya pun berkata.

"Begini bu, anak-anak kelas 9 kan sekarang sedang ada try out, dan hari ini Kenanga tidak masuk sekolah. Saya kesini untuk mengetahui alasan kenapa tidak masuk hari ini."

"Iya pak, tadi sebenarnya dia sudah akan masuk, tapi sepedanya rusak." Kata si Ibu

Tengah si ibu bicara, Kenanga muncul dari dalam rumah, dengan muka agak sembab seperti habis menangis.

"Kamu kenapa nggak masuk?" Tanya saya kepada Kenanga.

"Sepedanya rusak pak, rantainya copot-copot." 

"Kalau rusak kan bisa dibenerin."

"Iya pak guru, kemarin saya sudah bilang, kalau sepedanya bawa ke bengkel, trus paginya tinggal ambil sekalian berangkat sekolah. Tapi kemarin sore hujan." Kata si ibu.

Saya dengerin si ibu bicara, kemudian bertanya kepada Kenanga

"Kamu nggak berangkat sama teman kamu?"

"Tadi pagi udah telepon si Kantil pak, tapi nggak diangkat." Kata Kenanga.

"Kenapa kamu tidak SMS? Tadi Kantil cerita kalau ada telepon dari kamu, trus dia SMS kamu, tidak di balas, telepon juga tidak diangkat. Tadi saya juga telepon kamu berkali-kali juga tidak diangkat."

"Pulsanya habis pak, cuman bisa buat telepon doang (missed call). Tak taruh di dalam lemari, nggak tau kalau ada telepon masuk."

#FacePalm -______-
#KemudianHeningDuahari

Kemudian si ibu berkata,

"Mbahe juga sudah mengingatkan pak guru, sekolah yang rajin. Kalau sepedanya rusak bisa dibawa ke bengkel, dia bisa ke sekolah naik becak. Yang tinggal disini hanya mbahe, dia sama pakdhe dia, semua sibuk kerja. Bapak dan ibu dia kerja di Jakarta."

Oh... Ternyata beliau simbah si Kenanga, bukan ibunya.

"Saya udah pernah bilang ke ibunya Kenanga, seharusnya aku sudah nggak ngurusi hal-hal seperti ini, sekolah ada, dan lain-lain, dan lain-lain...."

Weleh... Malah curcol si ibu :D

"Tapi kan terlambat pak kalau naik becak..." Kata si Kenanga.

"Terlambat dikit kan nggak apa-apa, mending terlambat 15 atau 30 menit, daripada tidak masuk sama sekali."

"Tapi nanti kan di kecrohi (diejek/ di olok-olok) sama temen-temen..." Kata Kenanga membela diri.

"Jyaaah... Kamu kan udah kenal temen-temen kamu selama hampir 3 tahun, olok-olok mereka juga cuman gitu aja, paling cuman hari ini doang, besok juga udah nggak lagi. Lagian kamu juga sering olok-olokan sama teman kamu tho?"

Kenanga cuman nyengir.

"Trus... Ini kamu mau masuk sekolah atau enggak?" 

"Mau pak..." Kata Kenanga agak-agak malu.

"Yaudah kalau begitu, mau naik apa?"

"Di bonceng pak guru, nanti tasnya di taruh tengah."

Saya cuman bisa garuk kepala.

"Saya siap-siap, pamit sama simbah. Saya tunggu di luar."

Thursday, 18 February 2016

Menyoal Kesejahteraan Guru

Kesejahteraan guru merupakan sebuah topik yang riskan, bahkan bisa dikatakan cenderung tabu untuk dibicarakan. Dikarenakan sebagian besar masyarakat (terlebih yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan dan atau memiliki saudara yang bekerja sebagai pengajar) berpendapat bahwa SEMUA guru sekarang sudah sejahtera, tanpa memahami bahwa ada dua jenis guru, yaitu guru PNS dan guru honorer. Dan yang kesejahteraannya terjamin adalah guru PNS, sedangkan guru honorer masih belum bisa dikatakan sejahtera.

Ada perbedaan yang dalam diantara guru PNS dan honorer dalam hal kesejahteraan. Guru PNS, selain mendapatkan gaji sesuai UMK, juga mendapatkan berbagai macam fasilitas serta tunjangan diantaranya tunjangan kesehatan (BPJS Kesehatan), tunjangan hari tua (BPJS Ketenagakerjaan), tunjangan anak dan istri (bagi laki-laki yang sudah menikah) yang kesemuanya diterima setiap bulannya. Selain itu juga ada gaji ke-13 yang diterima setiap tahun dan juga tunjangan fungsional yang diterima setiap semester (besarnya sama dengan yang diterima guru honorer). Bahkan saya sempat membaca jika ada gaji ke-14 untuk PNS (sumber disini, walaupun jujur agak ragu juga dengan sumbernya, mungkin ada yang bisa mengklarifikasi?). Dengan segala fasilitas dan tunjangan tersebut, maka sangat bisa dikatakan jika guru PNS sudah (sangat) sejahtera.

Di lain pihak, untuk guru honorer, pendapatan bulanan yang di dapat adalah dari honor yang besarnya di tentukan sesuai dengan kemampuan sekolah masing-masing. Dan tunjangan fungsional yang diserahterimakan setiap semester. Sementara tanggungjawab dan tuntutan profesi sama dengan guru PNS, tidak kurang. 

Hampir menjelang peringatan hari guru, hari pendidikan nasional maupun menjelang pemilu/pilkada sering diangkat kisah guru honorer yang berjuang untuk mencukupi kehidupannya. Disebutkan bahwa gaji mereka di bawah UMR, bahkan ada yang hanya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah per bulan) atau bahkan lebih rendah lagi hanya Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per bulannya. Hal itu merupakan realita nyata. Bukan settingan seperti yang sering kali kita lihat di acara reality show yang muncul di TV.

Perbedaan yang besar itulah yang menyebabkan sebagian guru honorer, terlebih yang sudah puluhan tahun menjadi guru honorer menuntut untuk diangkat menjadi PNS. Barangkali terinpirasi oleh gerakan kaum buruh berani yang menyuarakan aspirasi mereka dan akhirnya di dengar oleh pemerintah. Bedanya demo buruh kebanyakan diikuti oleh puluhan bahkan ratusan ribu buruh dan biasanya berakhir anarki sedangkan demo guru cenderung lebih tenang dan dengan peserta tidak sebanyak demo buruh.

Di sisi lain, pemerintah sebagai pihak yang dituntut tentu saja merasa gelagapan dengan tuntutan dari para guru. Demo terakhir diikuti oleh sekitar seribu orang guru honorer (sumber disini). Semacam sedih melihat video tersebut, karena saat peringatan hari Pendidikan Nasional sebelumnya bapak presiden berkenan untuk sungkem (mencium tangan) kepada guru beliau (sumber) namun tidak berkenan untuk menemui guru honorer yang tengah berdemo. Ah... Mungkin beliau terlalu lelah mengurus segala urusan negara, sehingga tidak berkesempatan untuk bertemu guru honorer yang berdemo.

Bayangkan berapa banyak duit yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, jika harus mengangkat seribu orang guru honorer untuk menjadi PNS. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dikerjakan oleh pemerintah, dan pendidikan, khususnya kesejahteraan guru honorer bukanlah prioritas dari pemerintah. Masih banyak permasalahan lainnya yang jauh lebih penting daripada hal tersebut.

Kesejahteraan tidak melulu mengenai uang, untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer tidak melulu harus mengangkat mereka menjadi PNS. Ada beberapa hal yang menurut saya bisa menjadi usulan/pilihan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer.

1. Selama ini besaran honor untuk guru honorer ditetapkan oleh sekolah, pemerintah tidak ikut campur dalam menentukan besaran honor dan sumber pendanaan untuk honor guru honorer adalah dari komite (dana sekolah) dan juga dana BOS. Jika dana komite besar maka sekolah mampu memberikan honor yang besar pula, dan sebaliknya. Dana BOS bisa dikatakan sebagai pelengkap saja. Sudah saatnya hal tersebut diubah. Pemerintah sudah seharusnya menentukan besaran minimal honor di sesuaikan dengan kebutuhan tiap daerah dan memberikan subsidi yang lebih besar untuk mencukupi hal tersebut.

2. Dalam forum rapat guru sekolah pernah dibahas mengenai bisa tidak guru honorer diikutsertakan dalam program BPJS (baik kesehatan maupun ketenagakerjaan). Namun kepala sekolah belum bisa memberi kepastian, dikarenakan begitu banyaknya program pemerintah, ada BPJS, ada kartu Indonesia Sehat, kartu Indonesia Pintar, dll, dll. Kepala Sekolah khawatir nantinya salah langkah, dan atau setelah mengambil kebijakan, ternyata ada kebijakan baru dari pemerintah yang tidak sama dengan kebijakan yang beliau ambil, yang akhirnya (mau tidak mau harus di ubah). Yang mana, sampai sekarang belum ada kebijakan apapun dari pemerintah berkenaan dengan hal itu. Di lain, saya pernah mention bapak Anies Baswedan selaku mendiknas mengenai guru honorer dan BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Dan sampai sekarang masih juga belum di balas. Ah.... Aku mah apah atuh? Khayalan tingkat dewa deh klo nggarep tweetnya di bales :))

Selama ini sakit dan juga masa pensiun merupakan "momok" bagi guru honorer, dengan penghasilan yang yah... segitu adanya, biaya berobat dan yang tinggi, ada ketakutan untuk sakit, selain takut untuk disuntik, terutama takut juga untuk melihat dan membayar tagihan rumah sakit/ dokter :D Selama ini, saya menjadi anggota BPJS Kesehatan mandiri, walaupun jarang sakit, namun jaga-jaga kalau sewaktu-waktu sakit dan pas tidak ada dana, saya tidak takut untuk ke dokter/ rumah sakit untuk berobat. Sementara untuk masa pensiun, guru honorer hanya bisa mengimami bahwa rejeki setiap mahkluk diatur oleh Yang Maha Kuasa, udah pokoknya percaya aja, nggak usah mikir yang macem-macem :D

Harapan saya, guru honorer juga disamakan dengan pekerja dan PNS lainnya, diikutkan dalam program BPJS baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, karena kami sama, untuk tingkatan/kelasnya bisa disesuaikan dengan masa kerja. Toh dana untuk BPJS sebagian di potong dari gaji pekerja, sementara sebagian lagi baru diambil dari dana perusahaan/ tempat bekerja. Jadi jika guru honorer diwajibkan untuk diikutkan dalam program BPJS juga tidak akan terlalu memberatkan pemerintah

3. Dengan kondisi perekonomian biaya tinggi seperti sekarang ini, dimana harga kebutuhan membumbung tinggi, sementara honor guru honorer sekali lagi tergantung pada kemampuan masing-masing sekolah. Saya rasa pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan pemilik usaha untuk memberikan kontribusinya untuk membantu guru honorer. Tidak perlu membuat program baru, kartu diskon untuk guru, tapi bisa memanfaatkan kartu pengenal yang dikeluarkan sekolah masing-masing, atau memanfaatkan kartu Identitas PTK dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang harus kami cetak setiap semesternya. Yang mana sampai sekarang saya masih belum paham kegunaannya untuk apa, selain sebagai kartu identitas tentu saja. Katakanlah memanfaatkan kartu identitas tersebut sebagai kartu diskon. Mungkin terdengar aneh dan menggelikan, namun kenapa tidak. Sejauh ini yang memberikan perlakuan tersebut adalah toko buku Gramedia, namun sayangnya hanya saat tertentu saja (kalau tidak salah Hari Pendidikan Nasional dan Hari Guru). Dengan berpartisipasinya pemilik usaha menjadi bukti nyata kepedulian masyarakat terhadap kesejahteraan guru honorer dan sedikit banyak membantu meringankan beban pemerintah dalam kewajibannya menyejahterakan guru honorer.

Kesimpulan:
Sampai sekarang, gema sanjungan kepada guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, guru sebagai penentu masa depan, guru sebagai agen perubahan, dll, dll segala macam sebutan dan sanjungan tidak henti-hentinya diberikan kepada guru. Berbagai macam kegiatan simbolis diadakan saat peringatan Hari Guru dan Hari Pendidikan Nasional, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dari mulai cium tangan sampai dengan membasuh kaki guru. Namun segala macam bentuk sanjungan dan juga kegiatan simbolis tersebut hanyalah bersifat maya. Guru honorer juga manusia biasa, dengan segala macam tuntutan hidupnya Sudah selayaknya dan seharusnya pemerintah memperhatikan kesejahteraan semua guru, termasuk guru honorer. 

Tulisan ini juga diposting di kompasiana

Wednesday, 17 February 2016

Semangat Siswa Mengikuti Ekstra Kurikuler


Origami merupakan salah satu ekstra kurikuler (ekskul) di sekolah kami, dan saya ditunjuk sebagai pengajarnya. Kegiatan ekskul ini sudah berlangsung selama 2 tahun berjalan, dengan sambutan siswa yang tidak terlalu antusias (paling tidak jika dibandingkan dengan ekskul olah raga). Di awal tahun pelajaran kemarin saya sempat menyampaikan kepada wakasek kesiswaan yang membawahi semua kegiatan ekskul di sekolah mengenai jumlah siswa yang mengikuti ekskul origami yang tidak seberapa banyak tersebut, tapi beliau menyampaikan bahwa tujuannya bukan seberapa banyak siswa yang terjaring mengikuti kegiatan ekskul, melainkan memberikan pilihan kepada siswa, kegiatan di luar KBM yang bisa mereka ikuti.

Baiklah kalau begitu, amanahpun saya jalankan dengan sebaik-baiknya.

Di awal semester pertama kemarin, sekolah kami sempat di sibukkan dengan persiapan akreditasi. Hampir setiap hari Jumat seusai sholat Jumat selama kurang lebih 2/3 bulan diadakan rapat persiapan akreditasi yang diikuti oleh semua perangkat sekolah. Yang mana, pada hari dan jam yang sama merupakan jadwal untuk kegiatan ekskul origami. Jadi selama itu pula mau tidak mau ekskul origami pun ditiadakan. Agak sayang juga sih, tapi untungnya anak-anak bisa di "tenangkan" agar tidak terlalu kecewa.

Usai segala macam kegiatan yang berhubungan dengan akreditasi, kembali ke ekskul origami. Koq jadi adem ayem ya? Anak-anak tidak ada yang datang, nggak ada juga yang datang ke perpus dan bertanya 

"Pak nanti origami tidak?" 

Semacam kangen dengan pertanyaan tersebut :D

Saya pun kemudian berinisiatif, menanyai anak-anak satu per satu. Daaaan... Semuanya kompak menjawab tidak lagi bisa ikut ekskul origami. Ada yang berasalan karena membantu orang tua di rumah, momong adiknya, momong simbahnya (?). Ada juga yang berasalan karena mengikuti ekskul lain dengan jadwal yang sama.

Yaudahlah ya, yang penting saya sudah dapat jawabannya, kemudian saya pun laporan kepada wakasek kesiswaan agar tidak timbul pertanyaan

"Pak ekskul origami koq nggak jalan lagi?"

Dan beliau bisa menerima laporan saja. Sampai dengan semester satu usai dan awal semester dua, ekskul origami tidak jalan, alias berhenti beraktifitas. Memasuki awal semester dua, muncul trend baru, sekelompok siswa kelas 9 sering datang ke perpustakaan dan minta untuk diajari origami. Mungkin karena sering melihat saya sibuk melipat kertas, dan beberapa origami yang saya pajang di perpustakaan.



Saya pun menyanggupi selama tidak menganggu pelajaran mereka. Hampir setiap istirahat mereka selalu datang dan belajar origami bersama-sama. Well... It's quite fun actually, walaupun sering kali harus ribet karena harus melayani anak-anak yang meminjam/mengembalikan buku dan atau meminta LKS. But... It's still fun :D

Rupanya kegiatan ini dilihat dan menarik perhatian siswa-siswa yang lainnya (it's obvious isn't/). Hingga awal bulan Februari kemarin, salah satu siswa yang semester kemarin ikut ekskul origami bertanya kepada saya

"Pak, ekskul origaminya koq nggak ada lagi?"

Well... Pertanyaan yang, somehow sudah lama saya tunggu :D

"Yaudah, kamu tanya ke teman-teman kamu, siapa saja yang mau ikut ekskul origami lagi, ntar habis itu laporan ke saya."

Sengaja saya minta anak-anak untuk aktif, untuk menguji seberapa besar semangat mereka untuk mengikuti ekskul origami. Selang beberapa hari kemudian, si anak kembali.

"Origaminya di mulai lagi ya pak? Saya sudah dapat temen-temen yang mau ikutan." katanya

Setelah menentukan jadwal dan peraturan/ tata tertib yang harus mereka patuhi, kegiatan ekskul pun bisa mulai dilaksanakan. Penekanan saya lebih kepada keseriusan mereka dalam mengikuti ekskul, karena mereka yang meminta, mereka harus rajin dan tidak boleh membolos. Semacam kontrak belajar gitu deh.


Tidak saya sangka ternyata cukup banyak juga yang ikutan, ada sekitar 10 orang siswa kelas 7 yang ikutan. Saya tidak berharap bisa sampai segitu soalnya, perkiraan saya cuman 5 orang soalnya :P

Tapi tidak terlalu banyak, sehingga masih bisa di handle. Tidak mudah rupanya, walaupun dengan kelas yang super kecil, dan materi yang saya sampaikan juga masih berupa dasar, tapi karena kebanyakan dari mereka banyak yang belum bisa, maka proses pembelajarannya pun juga berjalan lambat. Sekali pertemuan hanya bisa satu - dua materi origami, itu pun saya harus pelan-pelan dalam mengajarkan. Langkah demi langkah harus perlahan. Seperti bayi yang baru belajar berlajan, setapak demi setapak.

Yang sering kali bikin gemes, kalau ada anak yang cepat paham, sementara temannya yang lain belum paham.

"Sudah pak, habis ini gimana?" Kata yang sudah paham

"Bentar pak, jangan cepat-cepat." Kata yang yang ketinggalan

Saya cuman bisa nyengir sambil tepok jidat.

Segala hiruk pikuk di kelas kecil ini memang, sedikit banyak melelahkan, namun demikian juga menyenangkan, berinteraksi dengan anak-anak. Belajar bersama melipat kertas. satu hal yang saya harapkan sih anak-anak tetap semangat dalam mengikuti ekskul origami, dan apa yang mereka dapatkan di ekskul ini bisa bermanfaat buat mereka

Monday, 15 February 2016

Kelebihan atau Kekurangan Guru?




2 hari lalu, seorang teman saya di facebook membagi tautan yang menarik perhatian saya. Tautan tersebut membeberkan mengenai statistikjumlah guru dan peserta didik di Indonesia. Menarik karena disitu disebutkan bahwa pertumbuhan jumlah guru (honorer) jauh lebih pesat daripada pertumbuhan jumlah peserta didik (siswa). Dengan kata lain jumlah guru tidak seimbang dengan jumlah peserta didik. Kalau boleh saya menterjemahkannya jumlah guru di Indonesia berlebihan (menurut data statistik tersebut).

Yang mengganjal di pikiran saya adalah, antara statistik dengan realita di lapangan. Secara gamblang tidak usah jauh-jauh mencari contoh di sekolah kami sendiri. Ada beberapa guru mapel yang tidak hanya mengajar di sekolah kami, tapi di dua sekolah bahkan lebih. Ada yang dikarenakan alasan PNS yang diperbantukan (untuk memenuhi tuntutan 24 jam mengajar), ada juga yang karena mapel bersangkutan tidak banyak jumlah gurunya.

Di lain pihak, beberapa waktu yang lalu saya pernah ngobrol dengan guru/ staff sekolah swasta yang sekolahnya mengadopsi sistem pengelolaan sekolah dari luar negeri. Salah satu kebijakan dari sekolah tersebut adalah setiap kelas hanya diisi maksimal 25 peserta didik. Hal ini menarik perhatian saya, terlebih setelah beliau mengungkapkan alasan dari kebijakan tersebut. 

1. Kenyamanan dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) bagi peserta didik dan guru, hal ini berkenaan dengan luas ruangan yang tidak seberapa luas, walaupun kalau saya lihat ruangannya bisa dimaksimalkan untuk 30 orang peserta didik.
2. Alasan kemudahan dalam memahamkan siswa. dengan kelas yang kecil maka guru lebih mudah mengelola jalannya KBM, dan peserta didik lebih mudah menangkap dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik.
3. Kemudahan dalam pembinaan dan pengawasan peserta didik.

Ketiga alasan tersebut jika ditelaah memang ada benarnya. Yang pertama, kebanyakan sekolah konvensional baik negeri maupun swasta lebih memilih untuk memaksimalkan penerimaan jumlah siswa, tak jarang ditemui sekolah dengan kelas besar, 30 - 40 siswa per kelasnya, hal ini seringkali juga dikarenakan pembiayaan kelas, karena pembiayaan (relatif sama) maka serin kali sekolah lebih memilih kelas besar (kelas dengan jumlah peserta didik banyak). Walaupun jumlah ini masih diperbolehkan oleh kemendiknas, namun bisa dibayangkan dan di lihat bagaimana suasana kelas dengan jumlah siswa banyak dengan jumlah siswa sedikit. Jauh lebih nyaman untuk semua penghuni kelas (peserta didik dan guru). 

Yang kedua, seorang guru tidak hanya dituntut untuk transfer ilmu, namun yang lebih penting lagi adalah memahamkan peserta didik akan materi yang dibahas. Memahamkan materi kepada peserta didik akan jauh lebih mudah jika peserta didiknya terbatas. Bayangkan 1 orang guru mengajar di kelas dengan 30-40 peserta didik, dengan berbagai macam karakter, ada yang tenang mendengarkan, ada yang tenang namun diam-diam melamun bahkan tidur, ada pula yang tidak bisa diam nyeletuk, mengganggu jalannya KBM. Hal ini memang erat kaitannya dengan kemampuan untuk untuk penguasaan kelas, ada juga guru-guru yang mampu menguasai kelas besar dengan berbagai macam karakter peserta didik tersebut. Namun akan jauh lebih mudah bagi semua guru untuk menguasai kelas kecil, sehingga jalannya KBM berjalan lancara, dan tuntutan agar guru memahamkan materi kepada peserta didik lebih bisa dicapai daripada dengan kelas besar.

Yang ketiga berkenaan dengan pembinaan dan pengawasan peserta didik, sekali lagi kepada tuntutan dari sistem pendidikan kita, dan juga tuntutan dari masyarakat bahwa sekolah bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu, tapi sebagai tempat untuk membentuk watak dan kepribadian peserta didik. Guru bukan hanya dituntut agar mampu mentransfer ilmunya, membuat peserta didik memahami materi yang disampaikan dan yang tidak kalah penting membentuk akhlak dari peserta didik. Bayangkan sekian banyak peserta didik dengan beraneka ragam latar belakang keluarga, dengan kepribadian yang berbeda-beda pula, harus di hadapi oleh sekelompok kecil guru dengan banyak tuntutan tersebut. Beberapa kali saya ngobrol dengan orang tua peserta didik yang menyatakan

"Saya sudah menyerah mendidik anak saya pak, anaknya susah dibilangin."

Saya rasa saya bukanlah satu-satunya orang yang mendengar penyataan senada. Jika anda seorang pendidik, saya yakin pernah mendengar pernyataan semacam itu, paling tidak sekali. Jika orang tua yang mempunyai tanggungjawab utama terhadap anak, yang hanya menghadapi anak-anaknya saja yang jumlahnya paling banyak 12 orang (saya rasa tidak banyak keluarga seperti keluarga Halilintar, no?) bersikap seperti itu, bagaimana dengan kami para guru, pengajar dan staff di sekolah yang setiap hari harus mengajar, mendidik, membentuk akhlak dari puluhan bahkan ratusan anak di sekolah kami?

Kembali ke sekolah kami, permasalahan guru yang mengajar di dua tempat (atau lebih), dan juga kekurangan guru (saat ini sekolah kami tidak memiliki guru TIK, karena sekolah kami masih menggunakan kurikulum KTSP, sedangkan dikarenakan kurikulum 2013 menghilangkan mapel TIK, banyak guru TIK yang banting setir mencari mata pencaharian lain di luar mengajar) mengganggu jalannya pembelajaran. Idealnya guru hanya mengajar di satu sekolah saja, sehingga guru bisa fokus dalam mendidik peserta didik. Guru bisa menggunakan waktu di luar jam mengajar untuk memahamkan materi bagi peserta didik yan tertinggal (entah dengan memberi semacam kursus singkat, remidi, ataupun bentuk pembelajaran lainnya). Namun karena kesibukan guru yang harus loncat dari satu sekolah ke sekolah lain, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Yang bisa dilakukan adalah "pemerataan" jika mayoritas peserta didik dalam satu kelas sudah paham, maka dianggap semua sudah paham. Yang belum paham hanya bisa disarankan untuk belajar secara mandiri (yang mana tidak semua peserta didik memiliki minat untuk belajar secara mandiri).

Kembali ke premis awal, dengan statistik yang menyatakan perbandingan jumlah guru tidak seimbang dengan jumlah peserta didik. Jika statistik ini berdasarkan data riil, maka sangat disayangkan. Kemana guru-guru yang disebut berlebihan tersebut? karena bahkan di sekolah kami yang masih berada di pulau Jawa, di kota yang cukup besar saja masih kekurangan guru. Tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan sekolah di kota-kota kecil/pedesaan, terlebih di luar pulau Jawa. 

Kesimpulan: Saya rasa yang terjadi adalah bukan overquota guru, namun tidak terdistribusikannya jumlah guru secara merata, sehingga di beberapa tempat (kota/provinsi) jumlah guru berlebih, sementara di tempat lain kekurangan jumlah guru. Pemerataan inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.

Tulisan ini juga di posting di kompasiana

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites