2 hari lalu, seorang teman saya di facebook membagi tautan yang menarik perhatian saya. Tautan tersebut membeberkan mengenai statistikjumlah guru dan peserta didik di Indonesia. Menarik karena disitu disebutkan bahwa pertumbuhan jumlah guru (honorer) jauh lebih pesat daripada pertumbuhan jumlah peserta didik (siswa). Dengan kata lain jumlah guru tidak seimbang dengan jumlah peserta didik. Kalau boleh saya menterjemahkannya jumlah guru di Indonesia berlebihan (menurut data statistik tersebut).
Yang mengganjal di pikiran saya adalah, antara statistik dengan realita di lapangan. Secara gamblang tidak usah jauh-jauh mencari contoh di sekolah kami sendiri. Ada beberapa guru mapel yang tidak hanya mengajar di sekolah kami, tapi di dua sekolah bahkan lebih. Ada yang dikarenakan alasan PNS yang diperbantukan (untuk memenuhi tuntutan 24 jam mengajar), ada juga yang karena mapel bersangkutan tidak banyak jumlah gurunya.
Di lain pihak, beberapa waktu yang lalu saya pernah ngobrol dengan guru/ staff sekolah swasta yang sekolahnya mengadopsi sistem pengelolaan sekolah dari luar negeri. Salah satu kebijakan dari sekolah tersebut adalah setiap kelas hanya diisi maksimal 25 peserta didik. Hal ini menarik perhatian saya, terlebih setelah beliau mengungkapkan alasan dari kebijakan tersebut.
1. Kenyamanan dalam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) bagi peserta didik dan guru, hal ini berkenaan dengan luas ruangan yang tidak seberapa luas, walaupun kalau saya lihat ruangannya bisa dimaksimalkan untuk 30 orang peserta didik.
2. Alasan kemudahan dalam memahamkan siswa. dengan kelas yang kecil maka guru lebih mudah mengelola jalannya KBM, dan peserta didik lebih mudah menangkap dan memahami materi yang disampaikan oleh pendidik.
3. Kemudahan dalam pembinaan dan pengawasan peserta didik.
Ketiga alasan tersebut jika ditelaah memang ada benarnya. Yang pertama, kebanyakan sekolah konvensional baik negeri maupun swasta lebih memilih untuk memaksimalkan penerimaan jumlah siswa, tak jarang ditemui sekolah dengan kelas besar, 30 - 40 siswa per kelasnya, hal ini seringkali juga dikarenakan pembiayaan kelas, karena pembiayaan (relatif sama) maka serin kali sekolah lebih memilih kelas besar (kelas dengan jumlah peserta didik banyak). Walaupun jumlah ini masih diperbolehkan oleh kemendiknas, namun bisa dibayangkan dan di lihat bagaimana suasana kelas dengan jumlah siswa banyak dengan jumlah siswa sedikit. Jauh lebih nyaman untuk semua penghuni kelas (peserta didik dan guru).
Yang kedua, seorang guru tidak hanya dituntut untuk transfer ilmu, namun yang lebih penting lagi adalah memahamkan peserta didik akan materi yang dibahas. Memahamkan materi kepada peserta didik akan jauh lebih mudah jika peserta didiknya terbatas. Bayangkan 1 orang guru mengajar di kelas dengan 30-40 peserta didik, dengan berbagai macam karakter, ada yang tenang mendengarkan, ada yang tenang namun diam-diam melamun bahkan tidur, ada pula yang tidak bisa diam nyeletuk, mengganggu jalannya KBM. Hal ini memang erat kaitannya dengan kemampuan untuk untuk penguasaan kelas, ada juga guru-guru yang mampu menguasai kelas besar dengan berbagai macam karakter peserta didik tersebut. Namun akan jauh lebih mudah bagi semua guru untuk menguasai kelas kecil, sehingga jalannya KBM berjalan lancara, dan tuntutan agar guru memahamkan materi kepada peserta didik lebih bisa dicapai daripada dengan kelas besar.
Yang ketiga berkenaan dengan pembinaan dan pengawasan peserta didik, sekali lagi kepada tuntutan dari sistem pendidikan kita, dan juga tuntutan dari masyarakat bahwa sekolah bukan hanya sebagai tempat menimba ilmu, tapi sebagai tempat untuk membentuk watak dan kepribadian peserta didik. Guru bukan hanya dituntut agar mampu mentransfer ilmunya, membuat peserta didik memahami materi yang disampaikan dan yang tidak kalah penting membentuk akhlak dari peserta didik. Bayangkan sekian banyak peserta didik dengan beraneka ragam latar belakang keluarga, dengan kepribadian yang berbeda-beda pula, harus di hadapi oleh sekelompok kecil guru dengan banyak tuntutan tersebut. Beberapa kali saya ngobrol dengan orang tua peserta didik yang menyatakan
"Saya sudah menyerah mendidik anak saya pak, anaknya susah dibilangin."
Saya rasa saya bukanlah satu-satunya orang yang mendengar penyataan senada. Jika anda seorang pendidik, saya yakin pernah mendengar pernyataan semacam itu, paling tidak sekali. Jika orang tua yang mempunyai tanggungjawab utama terhadap anak, yang hanya menghadapi anak-anaknya saja yang jumlahnya paling banyak 12 orang (saya rasa tidak banyak keluarga seperti keluarga Halilintar, no?) bersikap seperti itu, bagaimana dengan kami para guru, pengajar dan staff di sekolah yang setiap hari harus mengajar, mendidik, membentuk akhlak dari puluhan bahkan ratusan anak di sekolah kami?
Kembali ke sekolah kami, permasalahan guru yang mengajar di dua tempat (atau lebih), dan juga kekurangan guru (saat ini sekolah kami tidak memiliki guru TIK, karena sekolah kami masih menggunakan kurikulum KTSP, sedangkan dikarenakan kurikulum 2013 menghilangkan mapel TIK, banyak guru TIK yang banting setir mencari mata pencaharian lain di luar mengajar) mengganggu jalannya pembelajaran. Idealnya guru hanya mengajar di satu sekolah saja, sehingga guru bisa fokus dalam mendidik peserta didik. Guru bisa menggunakan waktu di luar jam mengajar untuk memahamkan materi bagi peserta didik yan tertinggal (entah dengan memberi semacam kursus singkat, remidi, ataupun bentuk pembelajaran lainnya). Namun karena kesibukan guru yang harus loncat dari satu sekolah ke sekolah lain, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Yang bisa dilakukan adalah "pemerataan" jika mayoritas peserta didik dalam satu kelas sudah paham, maka dianggap semua sudah paham. Yang belum paham hanya bisa disarankan untuk belajar secara mandiri (yang mana tidak semua peserta didik memiliki minat untuk belajar secara mandiri).
Kembali ke premis awal, dengan statistik yang menyatakan perbandingan jumlah guru tidak seimbang dengan jumlah peserta didik. Jika statistik ini berdasarkan data riil, maka sangat disayangkan. Kemana guru-guru yang disebut berlebihan tersebut? karena bahkan di sekolah kami yang masih berada di pulau Jawa, di kota yang cukup besar saja masih kekurangan guru. Tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan sekolah di kota-kota kecil/pedesaan, terlebih di luar pulau Jawa.
Kesimpulan: Saya rasa yang terjadi adalah bukan overquota guru, namun tidak terdistribusikannya jumlah guru secara merata, sehingga di beberapa tempat (kota/provinsi) jumlah guru berlebih, sementara di tempat lain kekurangan jumlah guru. Pemerataan inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Tulisan ini juga di posting di kompasiana
0 comments:
Post a Comment
Saya menghargai komentar, saran, kritik & masukan yang membangun. Komentar berupa spam, scam dan promosi akan dihapus, terima kasih.