Thursday 18 February 2016

Menyoal Kesejahteraan Guru

Kesejahteraan guru merupakan sebuah topik yang riskan, bahkan bisa dikatakan cenderung tabu untuk dibicarakan. Dikarenakan sebagian besar masyarakat (terlebih yang tidak berkecimpung di dunia pendidikan dan atau memiliki saudara yang bekerja sebagai pengajar) berpendapat bahwa SEMUA guru sekarang sudah sejahtera, tanpa memahami bahwa ada dua jenis guru, yaitu guru PNS dan guru honorer. Dan yang kesejahteraannya terjamin adalah guru PNS, sedangkan guru honorer masih belum bisa dikatakan sejahtera.

Ada perbedaan yang dalam diantara guru PNS dan honorer dalam hal kesejahteraan. Guru PNS, selain mendapatkan gaji sesuai UMK, juga mendapatkan berbagai macam fasilitas serta tunjangan diantaranya tunjangan kesehatan (BPJS Kesehatan), tunjangan hari tua (BPJS Ketenagakerjaan), tunjangan anak dan istri (bagi laki-laki yang sudah menikah) yang kesemuanya diterima setiap bulannya. Selain itu juga ada gaji ke-13 yang diterima setiap tahun dan juga tunjangan fungsional yang diterima setiap semester (besarnya sama dengan yang diterima guru honorer). Bahkan saya sempat membaca jika ada gaji ke-14 untuk PNS (sumber disini, walaupun jujur agak ragu juga dengan sumbernya, mungkin ada yang bisa mengklarifikasi?). Dengan segala fasilitas dan tunjangan tersebut, maka sangat bisa dikatakan jika guru PNS sudah (sangat) sejahtera.

Di lain pihak, untuk guru honorer, pendapatan bulanan yang di dapat adalah dari honor yang besarnya di tentukan sesuai dengan kemampuan sekolah masing-masing. Dan tunjangan fungsional yang diserahterimakan setiap semester. Sementara tanggungjawab dan tuntutan profesi sama dengan guru PNS, tidak kurang. 

Hampir menjelang peringatan hari guru, hari pendidikan nasional maupun menjelang pemilu/pilkada sering diangkat kisah guru honorer yang berjuang untuk mencukupi kehidupannya. Disebutkan bahwa gaji mereka di bawah UMR, bahkan ada yang hanya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah per bulan) atau bahkan lebih rendah lagi hanya Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) per bulannya. Hal itu merupakan realita nyata. Bukan settingan seperti yang sering kali kita lihat di acara reality show yang muncul di TV.

Perbedaan yang besar itulah yang menyebabkan sebagian guru honorer, terlebih yang sudah puluhan tahun menjadi guru honorer menuntut untuk diangkat menjadi PNS. Barangkali terinpirasi oleh gerakan kaum buruh berani yang menyuarakan aspirasi mereka dan akhirnya di dengar oleh pemerintah. Bedanya demo buruh kebanyakan diikuti oleh puluhan bahkan ratusan ribu buruh dan biasanya berakhir anarki sedangkan demo guru cenderung lebih tenang dan dengan peserta tidak sebanyak demo buruh.

Di sisi lain, pemerintah sebagai pihak yang dituntut tentu saja merasa gelagapan dengan tuntutan dari para guru. Demo terakhir diikuti oleh sekitar seribu orang guru honorer (sumber disini). Semacam sedih melihat video tersebut, karena saat peringatan hari Pendidikan Nasional sebelumnya bapak presiden berkenan untuk sungkem (mencium tangan) kepada guru beliau (sumber) namun tidak berkenan untuk menemui guru honorer yang tengah berdemo. Ah... Mungkin beliau terlalu lelah mengurus segala urusan negara, sehingga tidak berkesempatan untuk bertemu guru honorer yang berdemo.

Bayangkan berapa banyak duit yang harus dikeluarkan oleh pemerintah, jika harus mengangkat seribu orang guru honorer untuk menjadi PNS. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dikerjakan oleh pemerintah, dan pendidikan, khususnya kesejahteraan guru honorer bukanlah prioritas dari pemerintah. Masih banyak permasalahan lainnya yang jauh lebih penting daripada hal tersebut.

Kesejahteraan tidak melulu mengenai uang, untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer tidak melulu harus mengangkat mereka menjadi PNS. Ada beberapa hal yang menurut saya bisa menjadi usulan/pilihan bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer.

1. Selama ini besaran honor untuk guru honorer ditetapkan oleh sekolah, pemerintah tidak ikut campur dalam menentukan besaran honor dan sumber pendanaan untuk honor guru honorer adalah dari komite (dana sekolah) dan juga dana BOS. Jika dana komite besar maka sekolah mampu memberikan honor yang besar pula, dan sebaliknya. Dana BOS bisa dikatakan sebagai pelengkap saja. Sudah saatnya hal tersebut diubah. Pemerintah sudah seharusnya menentukan besaran minimal honor di sesuaikan dengan kebutuhan tiap daerah dan memberikan subsidi yang lebih besar untuk mencukupi hal tersebut.

2. Dalam forum rapat guru sekolah pernah dibahas mengenai bisa tidak guru honorer diikutsertakan dalam program BPJS (baik kesehatan maupun ketenagakerjaan). Namun kepala sekolah belum bisa memberi kepastian, dikarenakan begitu banyaknya program pemerintah, ada BPJS, ada kartu Indonesia Sehat, kartu Indonesia Pintar, dll, dll. Kepala Sekolah khawatir nantinya salah langkah, dan atau setelah mengambil kebijakan, ternyata ada kebijakan baru dari pemerintah yang tidak sama dengan kebijakan yang beliau ambil, yang akhirnya (mau tidak mau harus di ubah). Yang mana, sampai sekarang belum ada kebijakan apapun dari pemerintah berkenaan dengan hal itu. Di lain, saya pernah mention bapak Anies Baswedan selaku mendiknas mengenai guru honorer dan BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Dan sampai sekarang masih juga belum di balas. Ah.... Aku mah apah atuh? Khayalan tingkat dewa deh klo nggarep tweetnya di bales :))

Selama ini sakit dan juga masa pensiun merupakan "momok" bagi guru honorer, dengan penghasilan yang yah... segitu adanya, biaya berobat dan yang tinggi, ada ketakutan untuk sakit, selain takut untuk disuntik, terutama takut juga untuk melihat dan membayar tagihan rumah sakit/ dokter :D Selama ini, saya menjadi anggota BPJS Kesehatan mandiri, walaupun jarang sakit, namun jaga-jaga kalau sewaktu-waktu sakit dan pas tidak ada dana, saya tidak takut untuk ke dokter/ rumah sakit untuk berobat. Sementara untuk masa pensiun, guru honorer hanya bisa mengimami bahwa rejeki setiap mahkluk diatur oleh Yang Maha Kuasa, udah pokoknya percaya aja, nggak usah mikir yang macem-macem :D

Harapan saya, guru honorer juga disamakan dengan pekerja dan PNS lainnya, diikutkan dalam program BPJS baik Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, karena kami sama, untuk tingkatan/kelasnya bisa disesuaikan dengan masa kerja. Toh dana untuk BPJS sebagian di potong dari gaji pekerja, sementara sebagian lagi baru diambil dari dana perusahaan/ tempat bekerja. Jadi jika guru honorer diwajibkan untuk diikutkan dalam program BPJS juga tidak akan terlalu memberatkan pemerintah

3. Dengan kondisi perekonomian biaya tinggi seperti sekarang ini, dimana harga kebutuhan membumbung tinggi, sementara honor guru honorer sekali lagi tergantung pada kemampuan masing-masing sekolah. Saya rasa pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan pemilik usaha untuk memberikan kontribusinya untuk membantu guru honorer. Tidak perlu membuat program baru, kartu diskon untuk guru, tapi bisa memanfaatkan kartu pengenal yang dikeluarkan sekolah masing-masing, atau memanfaatkan kartu Identitas PTK dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang harus kami cetak setiap semesternya. Yang mana sampai sekarang saya masih belum paham kegunaannya untuk apa, selain sebagai kartu identitas tentu saja. Katakanlah memanfaatkan kartu identitas tersebut sebagai kartu diskon. Mungkin terdengar aneh dan menggelikan, namun kenapa tidak. Sejauh ini yang memberikan perlakuan tersebut adalah toko buku Gramedia, namun sayangnya hanya saat tertentu saja (kalau tidak salah Hari Pendidikan Nasional dan Hari Guru). Dengan berpartisipasinya pemilik usaha menjadi bukti nyata kepedulian masyarakat terhadap kesejahteraan guru honorer dan sedikit banyak membantu meringankan beban pemerintah dalam kewajibannya menyejahterakan guru honorer.

Kesimpulan:
Sampai sekarang, gema sanjungan kepada guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, guru sebagai penentu masa depan, guru sebagai agen perubahan, dll, dll segala macam sebutan dan sanjungan tidak henti-hentinya diberikan kepada guru. Berbagai macam kegiatan simbolis diadakan saat peringatan Hari Guru dan Hari Pendidikan Nasional, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dari mulai cium tangan sampai dengan membasuh kaki guru. Namun segala macam bentuk sanjungan dan juga kegiatan simbolis tersebut hanyalah bersifat maya. Guru honorer juga manusia biasa, dengan segala macam tuntutan hidupnya Sudah selayaknya dan seharusnya pemerintah memperhatikan kesejahteraan semua guru, termasuk guru honorer. 

Tulisan ini juga diposting di kompasiana

0 comments:

Post a Comment

Saya menghargai komentar, saran, kritik & masukan yang membangun. Komentar berupa spam, scam dan promosi akan dihapus, terima kasih.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites