Sekolah

Cerita-cerita yang terjadi di sekolah

Cerita Sehari-Hari

Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

Internet

Segala sesuatu yang berhubungan dengan internet dan blogging

Jamban Blogger

Jamban Blogger

Tulisan Jaw merupakan anggota dari Jamban Blogger

Saturday, 18 April 2015

SEKOLAH YANG MENYENANGKAN

“Depresi, Guru Terima Kompensasi Rp 8,5 M” merupakan judul salah satu berita yang ada di harian Solopos tertanggal 6 September 2014. Sebuah realitas bahwa sekolah juga bisa menjadi pemicu stress, bukan hanya untuk peserta didik, namun juga untuk Tenaga Pendidik (Guru) dan Tenaga Non Kependidikan yang berperan di dalam sebuah sekolahan.
Tekanan (stressor) yang dialami oleh guru diantara adalah berkenaan dengan tugas pokoknya yaitu mengajar peserta didik. Guru dituntut untuk tidak hanya menyampaikan materi, namun juga tuntutan agar peserta didik memahami materi pelajaran ada di tangan guru. Suatu hal yang tidak mudah karena guru harus menghadapi 20-40 orang peserta didik setiap kelasnya (dikalikan jumlah rombongan belajar yang ada di sekolah tersebut) dengan berbagai macam sifat, kepribadian dan tingkah laku. Dalam artikel berjudul diatas disebutkan beberapa tingkah laku ekstrim yang dihadapi guru tersebut diataranya: memanjat dinding, mempersenjatai diri dengan meyemburkan api darurat dan membakar kaus pelajar lainnya.
Sumber stress lain yang dihadapi guru diantaranya lingkungan kerja, pergaulan dengan sesama rekan kerja, tuntutan dari atasan/yayasan/kementrian yang juga dialami oleh pekerja di bidang lain. Dan masalah klasik mengenai kesejahteraan yang belum terpenuhi, khususnya bagi guru honorer non PNS.
Untuk menekan, mengurangi dan kalau bisa menghilangkan stressor-stressor yang ada di sekolah adalah dengan menjadikan sekolah sebagai tempat (kerja) yang menyenangkan bagi semua baik siswa maupun guru. Beberapa contoh konkret yang bisa dilakukan untuk menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi semua diantaranya:
Meciptakan suasana sekolah yang serius tapi santai di sekolah, sehingga guru dan siswa nyaman berada di sekolahan.
Memutarkan musik yang menenangkan. Beberapa sekolah besar memiliki radio sekolah, selain bisa sebagai sarana menyampai informasi, bisa juga sebagai sarana mengembangan potensi siswa dan juga relaksasi.
Secara berkala melakukan kegiatan bersama seluruh anggota sekolah yang sifatnya diluar tuntutan sekolah, misalnya:
Jalan-jalan keliling lingkungan sekolah, selain santai juga sebagai sarana pengenalan sekolah kepada masyarakat sekitar.
Kegiatan kreatifitas siswa, selain classmeeting yang diadakan di akhir semester, kegiatan kreatifitas siswa bisa diadakan kapan saja selama memungkinkan. Bisa memafaatkan kerjasama dengan perusahaan yang mempunyai program “Goes To School” kepada sekolah-sekolah.
Piknik bersama, piknik yang saya maksud adalah piknik sederhana, tidak perlu jauh, memerluka persiapan yang ribet dan memakan waktu dan tenaga. Piknik bisa dilakukan di dalam kota, bahkan di halaman sekolah. Intinya adalah berkumpul bersama silaturahmi sesama anggota sekolah.
Pengajian/Siraman Rohani.
Masih ada banyak kegiatan menyenangkan lainnya yang bisa dilaksanakan dalam lingkungan sekolah, baik untuk guru dan karyawan, maupun untuk semuanya. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut maka akan menekan tingkat stress pada guru serta siswa, dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerja guru serta prestasi siswa sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak.

Saturday, 11 April 2015

Tren Kunjungan ke Perpustakaan

UKunjungan siswa ke perpustakaan sekolah mengalami pasang surut, ada kalanya siswa senang datang ke perpustakaan sekolah. Sehingga ruangan perpustakaan penuh dengan siswa yang beraktifitas. Namun ada kalanya juga perpustakaan sekolah sepi dari siswa.

Berdasarkan pengamatan saya sebagai petugas perpustakaan, ada beberapa hal yang menyebabkan siswa mengunjungi perpustakaan sekolah (tren kunjungan).

Pada awal tahun pelajaran, kebanyakan siswa yang berkunjung ke perpustakaan sekolah adalah siswa baru kelas 7, mereka kebanyakan meminjam buku bacaan (novel) atau sekedar membacanya di ruangan perpustakaan. Namun dengan berjalannya waktu tren ini berkurang bahkan hilang dengan sendirinya karena jumlah buku bacaan tidak bertambah.

Tren yang kedua adalah siswa datang ke perpustakaan untuk meminjam buku referensi penunjang pembelajaran. Untuk tren yang satu ini bisa dikatakan berlangsung sepanjang tahun, tergantung pada guru mapel bersangkutan. Sayangnya tidak banyak guru mapel yang "mendorong" siswa untuk mencari referensi ke perpustakaan sekolah. Kebanyakan siswa mencari referensi berupa kamus (Inggris, Indonesia, Arab) dan buku Pepak Boso Jawa dan terkadang atlas. Untuk mapel yang lain belum ada.

Tren berikutnya adalah, siswa datang ke perpustakaan untuk makan. Saya memang sengaja memperbolehkan siswa untuk makan di ruangan perpustakaan, dengan catatan harus menjaga ruangan. Saya pikir tidak ada salahnya mengijinkan siswa untuk makan di ruangan perpustakaan, lagi pula tidak/ belum ada tempat khusus buat makan, lagi pula bisa sekalian mengawasi siswa. Yang makan di perpustakaan kebanyakan siswa kelas 8 dan 9. Makanan yang mereka bawa bukan hanya makanan ringan, namun tak sedikit pula yang membawa nasi bekal dari rumah. Kendala yang terjadi terkadang ada anak yang jahil, ngrusuhi temannya yang sedang makan. Ada satu siswa kelas 8 yang bahkan sampai kapok makan di perpustakaan karena sering diganggu temannya.

Di perpustakaan ada sebuah TV ukuran 14 inci yang menjadi daya tarik siswa untuk datang ke perpustakaan, terutama saat awal dulu, walaupun TVnya kecil, gambarnya tidak terlalu jelas dan salurannya terbatas + tanpa remote, siswa tetap nonton TV. Namun dengan berjalannya waktu tren ini bergeser juga, sekarang tinggal satu dua orang siswa yang menikmati menonton TV di perpustakaan, tidak ada lagi ribut rebutan channel TV.

Tren terakhir yang terjadi akhir-akhir ini adalah siswa datang ke perpustakaan untuk mengisi TTS di koran. Saya bersyukur siswa mempunyai inisiatif seperti itu, saya rasa TTS bagus sebagai sarana mereka untuk belajar. Saya sering menyampaikan.

"Ntar kalau kalian sudah selesai, coba kalian kirimkan ke redaksi, lumayan lho klo menang dapat duit buat kalian jajan."

Kata saya sambil memperlihatkan informasi hadiah.


Pada awalnya siswa bersemangat mengisi TTS bersama-sama, tapi kemudian ketika mereka tidak tahu jawabannya, mereka mulai bertanya kepada saya. Satu pertanyaan, dua, tiga... 

Lama-lama semua pertanyaan dimintai jawaban ke saya.

"Kalian itu kayak upin ipin, semua pertanyaan saya yang harus jawab." Kata saya.

Dan seperti tren lainnya, tren yang satu ini juga berlalu dengan berjalanya waktu.

Thursday, 2 April 2015

Penanganan Siswa Terlambat

Dari sekolah saya mendapatkan tugas untuk memegang perijinan siswa, baik siswa terlambat maupun ijin keluar sekolah di jam belajar harus melalui saya.

Khusus untuk keterlambatan, saya lebih riweuh dan cerewet sebelum saya memberikan ijin masuk. Saya tanya detail alasan kenapa siswa sampai terlambat. Hal tersebut saya lakukan untuk mengambil tindakan berikutnya. Contohnya

Saya (S): "Kenapa terlambat."
Murid (M) : "Bangun kesiangan pak."
S : "Lha koq bisa kesiangan?"
M : "Tidurnya kemalaman pak."
S : "Kamu ngapain aja koq sampe tidurnya kemalaman?"


Dari jawaban akhir siswa lah saya menentukan apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Jika siswa menyatakan alasan tidur malam karena mengerjakan tugas, membantu orang tua atau alasan lain yang tidak memberatkan, maka saya akan langsung saya beri surat ijin, dengan ditambah saran/ masukan agar tidak terjadi keterlambatan lagi.

Sebaliknya jika alasannya memberatkan, semisal karena keasyikan main, main game, nonton TV atau yang lainnya, maka selain nasehat saya juga memberikan sanksi.

Sanksi yang saya berikan bervariasi baik jenis maupun berat ringannya. Bisa berupa olah raga ringan (push up/ sit up) maupun membersihkan perpustakaan tergantung pada siswanya sendiri. Terkadang tergantung pada keadaan siswa, misalnya saya lihat si anak masih terlihat mengantuk, saya suruh untuk push up biar dia nggak nggantuk.

Pernah dan bahkan sering terjadi ada anak yang protes karena merasa sanksi yang dia terima lebih berat dari temannya (terlebih kalau mereka terlambatnya bareng). Contoh yang satu saya suruh push up 5 kali, satunya push up 15 kali. Saya tekankah yang bikin sanksinya beda adalah mereka sendiri (dari alasan dan juga seberapa sering mereka terlambat dengan alasan yang memberatkan).

Terkadang saya harus eyel-eyelan dengan mereka, terlebih kalau ketemu siswa yang keras kepala. Pernah kejadian seperti ini:

"Nggak mau, pokoknya aku mau demo." Kata si Fulan (sebut saja namanya begitu.

"Yaudah gih sono, demo di tengah lapangan, saya pengen liat." Kata saya dengan cuek.
Si Fulan pun cuman mbesengut sambil nggrundel nggak jelas.

Saya tahu dan yakin kalau sebenarnya dia mampu melaksanakan sanksi tersebut, cuman wataknya aja nggak suka protes. Orang walaupun saya suruh untuk push up, saya tidak mewajibkan untuk push up yang bener seperti tentara misalnya. Tapi kalau ada anak yang asal-asalan push up cuman jentat jentit nggangkat pantat aja ya saya suruh nggulang.

Saya tahu bahwa sanksi fisik bukanlah pilihan terbaik menurut dunia pendidikan modern, namun karena berbagai alasan klasik (menghemat waktu dll), menurut saya sanksi fisik yang saya berikan mempunyai nilai positif, push up/sit up misalnya sebagai olah raga pagi untuk anak-anak agar mereka lebih segar waktu kbm. Membersihkan/merapikan perpustakaan atau bagian lain dari sekolah sebagai media untuk menanamkan rasa memiliki (handarbeni) sekolahan, bahwa mereka harus ikut merawat dan menjaga sarana prasarana dan fasilitas sekolah, bukan hanya sekedar menggunakan seenak sendiri.

Wednesday, 1 April 2015

Lima Ribu Sehari

Tengah dalam perjalanan naik motor, tiba-tiba saya merasa jalannya motor saya tidak enak. Saat menepi dan memeriksa, ternyata ban belakang motor saya bocor. Untungnya saya ingat kalau di dekat tempat tersebut ada tukang tambal ban.

Tak perlu mendorong motor terlalu lama sampailah saya di tukang tambal ban. Sepi, dengan pintu terbuka.

"Permisi..." Kata saya dengan suara agak keras.

Dari dalam pintu muncullah kepala seorang wanita.

"Iya, ada apa mas?" Katanya

"Mau tambal ban mbak." Kata saya

"Tunggu bentar ya." Kata si mbak kemudian masuk kedalam rumah.

Saya pun kemudian duduk di teras, tak seberapa lama si mbak keluar.

"Yang bocor mana mas?" Katanya

"Ban belakang mbak." Jawab saya

Si mbak pun memasang standar motor dan mulai mengerjakan ban motor saya. Saya pun berdiri mendekat untuk melihat lebih jelas

"Bocornya besar nggak mbak?" Tanya saya waktu si mbak memeriksa kebocoran ban.

"Nggak mas, cuman ada satu ini." Jawab si mbak sambil memperlihatkan gelembung yang muncul di air di ember waktu ban motor saya dicelupkan kedalamnya.

Saya pun kembali duduk, sambil menunggu si mbak selesai, saya mengeluarkan hakpen dan benang rajut dari dalam tas dan mulai melanjutkan rajutan saya.

"Bikin apa mas?" Tanya si mbak sambil masih mengerjakan ban motor saya.

"Bikin topi rajut mbak." Jawab saya.

"Sabar ya? Kalau saya nggak mungkin sabar bikin gituan." Kata si mbak.

"Hehehe... Buat ngisis waktu luang mbak. Bikin rajutan pesanan orang, lumayan buat nambah penghasilan bulanan." Jawab saya.

"Dulu saya pernah itu... Pasang manik-manik di baju itu apa namanya? Mote? Nah, itu lah pokoknya. Tapi sekarang sudah nggak lagi." Kata si mbak.

"Habisnya nggak cucuk mas dengan bayarannya. Sehari cuman lima ribu rupiah, itu pun kerjaan rumah terbengkalai, anak tidak terurus." Kata si mbak lagi.

"Akhirnya aku bertekad belajar ke bapak (suaminya). Ngeliatin kalau bapak nambal ban, dan akhirnya memberanikan untuk nambal ban sendiri sampai sekarang." Si mbak melanjutkan.

Pantes... Seingat saya dulu saya nambal ban disini tukang tambal bannya cowok

"Oh iya?" Kata saya

"Iya mas. Dengan tambal ban, sehari insyaAllah lebih lah dari 5 ribu, kerjaan lebih santai dan yang jelas rumah dan anak keurus." Kata si mbak.

Saya tersenyum mendengar uraian si mbak. Memang sangat di sayangkan pekerjaan di bidang seni sering kali kurang mendapat apresiasi, terlebih bidang seni "tingkat rendah" seperti pemasang mote/ manik-manik di baju misalnya. Terlihat sederhana "hanya" memasang mote/manik di pakaian, tapi hal tersebut membutuhkan daya seni dan imajinasi, belum lagi lamanya waktu yanv dibutuhkan untuk pengerjaannya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites