Sekolah

Cerita-cerita yang terjadi di sekolah

Cerita Sehari-Hari

Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari

Internet

Segala sesuatu yang berhubungan dengan internet dan blogging

Jamban Blogger

Jamban Blogger

Tulisan Jaw merupakan anggota dari Jamban Blogger

Saturday, 13 August 2016

Tiga Dara: sebuah Review Dengan Banyak Spoiler



Saya bukanlah seorang movie goers, yang suka nonton film. Bahkan bisa dikatakan saya cukup selektif dalam menonton film (alasan utamanya sih nggirit :p). Tapi ada kalanya saya pengen nonton film, karena saya pengen nonton saja, tanpa perlu pertimbangan macam-macam, dan kali ini adalah salah satu dari (sedikit) diantaranya.

Tidak banyak yang saya tahu (dan cari tahu) mengenai film ini sebelumnya. Bisa jadi ketertarikan utama saya untuk menonton film ini adalah fakta bahwa film ini adalah film jadul yang direstorasi, jadi saya pikir pasti ada sesuatu di dalam film ini. 

Tanpa ada ekspektasi/harapan apa-apa, dengan semangat empat lima saya menonton film ini. Mengajak seorang teman yang juga tidak tahu apa-apa tentang film ini juga.

"Kalau mau ikut ya ayuk, kalau enggak ya nggak apa-apa, aku nonton sendiri."

Daaan... Akhirnya dia ikut nonton juga :))

Anyway, berhubung tulisan ini berjudul review, jadi saya bagi menjadi dua, keunggulan dari film ini dan kekurangan dari film ini. sekali lagi spoiler alert yak

Keunggulan.

Bagi saya originalitas merupakan keunggulan utama dari film ini. Berhubung film ini dibuat tahun 1950-an, maka segala sesuatu yang ada di film ini sepenuhnya menggambarkan keadaan tahun tersebut. Ya suasananya, ya model/ cara berpakaiannya, ya kebiasaan saat itu, ya bentuk bangunannya, dan lain lain, dan lain lain.

Tidak seperti film modern yang mengambil setting jaman dulu yang terkadang suka meleset/ tidak sesuai/ terlalu artifisial dibanding realitasnya.

Saya senang melihat model pakaian yang mereka kenakan, yang pada jaman dahulu dianggap "super keren". Masih banyak wanita yang mengenakan kebaya dalam keseharian mereka (bahkan saat di rumah). Kebaya yang benar-benar kebaya, menggunakan bawahan kain batik, memakai stagen untuk mengikat dan semacam kaos dalaman khusus untuk wanita. Pakaian modern yang dikenakan saat itu baik wanita maupun pria, dan yang tak kalah saya nikmati adalah latar belakang yang dipakai, tidak kebayang kalau jaman dulu Jakarta begitu sepi, orang masih naik sepeda dengan santai, ada becak dan juga kota Bandung yang digambarkan begitu tenang. jauh berbeda dengan keadaan sekarang yang penuh kemacetan di kedua kota tersebut. Bahkan film yang hanya hitam putih menjadi sebuah keunikan sendiri untuk dinikmati.

Kelemahan

Ide cerita. Well... Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, ide cerita dari film ini terlalu lame, seorang nenek yang bawel dan penuntut menginginkan cucu pertamanya untuk segera menikah, for the sake of dia sudah terlalu tua dan dia ingin menimang cicit dari cucu pertamanya sebelum dia meninggal. Bahkan menurut saya cenderung merendahkan martabat kaumnya sendiri, terlebih ketika adegan si nenek meminta anaknya (ayah dari ketiga dara ini) untuk mencarikan jodoh bagi anak tertuanya, dikenalkan dengan seorang pemuda yang gagah, kalau tidak ada pemuda ya jangan yang tua-tua amat, kalau bisa seorang jejaka, kalau tidak ada duda tidak apa-apa, asal anaknya jangan banyak-banyak, maksimal 3. 

Yang kemudian menjadi sebuah keegoisan ketika cucu kedua menyatakan kalau dia dekat seorang lelaki, mereka sudah bertunangan dan siap untuk menikah, yang ditentang habis-habisan oleh sang nenek, dengan argumentasi bahwa keluarga harus mengenal lebih dekat, tidak boleh gegabah, terburu-buru, dll. segala macam alasan yang sangat kontras perbincangan antara sang nenek dengan sang ayah sebelumnya mengenai perjodohan cucu pertama. Yang mana ketahuan bahwa si pemuda oleh si nenek di plot untuk dijodohkan dengan cucu pertama.

Alur cerita. Melihat film ini menurut saya seperti melihat fragmen/ adegan-adengan yang walaupun secara garis besar berhubungan satu sama lain, tapi secara detail terputus satu sama lain. Semisal adegan saat Dara Pertama diajak oleh Dara Kedua ke pesta agar bisa bertemu dengan laki-laki dan kemudian jadian. Beberapa pesta yang dihadiri tidak jelas siapa yang mengadakan pesta dan pesta dalam rangka apa. Yang saya rasakan lebih kepada beginilah muda-mudi saat itu mengadakan pesta, ada pesta modern, ada juga pesta (dengan nuansa) tradisional. 

Diskontinuitas dan keanehan. Sepanjang yang saya tahu kontinuitas dalam adegan sangat penting dalam sebuah film, tapi di dalam film ini banyak sekali diskontinuitas yang saya lihat, misalnya dalam satu adegan ada tas tangan kecil diatas meja, namun di adegan berikutnya tas tangan tersebut sudah tidak ada. Selain itu, banyak keanehan yang menurut saya tidak masuk akal. Misalnya, adegan dimana Dara pertama keserempet oleh seorang pemuda, marah-marah karena merasa dirinya benar tidak mau dibantu akhirnya pulang sendiri naik becak (perhatikan baik-baik adegan ini, ungkapan bahwa wanita tidak pernah salah ternyata sudah ada sejak 60 tahun lalu, bahkan saya curiga, gara-gara film ini muncul ungkapan tersebut :D). 

Dara pertama pulang ke rumah, yang diikuti oleh sang pemuda, yang kemudian bertamu meminta maaf, daaan... disambut hangat oleh sang nenek bahkan saat akan pulang disarankan untuk sering-sering datang. 



I feel like, what the??? Bagaimana kalau si pemuda orang yang nggak bener? Memangnya jaman dulu tidak ada pemerkosa? Tidak ada b*jingan? 

Akting, saya sering mendengar artis senior yang komplain, bahwa akting pemain film / sinetron sekarang kurang menjiwai, tidak seperti akting para pemain film jaman dahulu. Tapi kalau ngelihat film ini, rasanya like... wut??? Let's just said that bagi saya tidak seperti aktingnya Nicholas Saputra, Reza Rahadian, Bunga Citra Lestari, Dian Sastrowardoyo yang mendapat banyak pujian

Kesimpulan

Walaupun sebenarnya masih banyak yang pengen saya tulis, tapi let's just stop here dan membuat kesimpulan untuk memberi kesempatan yang lain menulis review. Inti atau persoalan utamanya, apakah film ini layak di tonton? Bagi saya ya, film ini layak ditonton. dengan segala kekurangan yang dia punyai. Dan bahkan kekurangan-kekurangan tersebut menurut saya menjadi sebuah hiburan tersendiri, akting yang "wagu" dari pemainnya, alur cerita bikin garuk-garuk kepala, logika cerita yang nggak masuk logika saya dan segala yang ada di film ini.

Expect nothing from this movie jika anda pengen menontonnya. Jangan berharap yang terlalu tinggi, persiapkan diri bahwa anda menonton film untuk mencari hiburan, untuk tertawa, untuk melihat kehidupan jaman dulu dan saya yakin anda bisa menikmati film ini.

Oh iya, di awal film ada trailer film baru yang mengklaim terinspirasi dari film Tiga dara ini, which for me, I don't think that I want to watch it. No thank you. 

Wednesday, 10 August 2016

(Masih Tentang) Full Day School

Awalnya pengen nulis tentang wacana #FullDaySchool disini, untuk kemudian tersesat di twitterland saat mencari materi tulisan. Saya lihat tanggapan twitterian jauh lebih beragam dan "kejam" mengenai wacana ini dibandingkan dengan jamaah fesbukiyah maupun alayer instagram (no offense to anyone karena saya pengguna ketiga media sosial tersebut).

Menarik membaca berbagai tanggapan yang ada, dan yang paling menarik perhatian saya kontroversi klaim dari bapak menteri yang menyatakan ide Full day School terinspirasi dari sistem pendidikan di Finlandia (yang dinyatakan) sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia. Banyak yang membantah klaim tersebut, dikatakan bahwa sistem pendidikan tidak seperti yang dibayangkan bapak menteri. (Dua artikel tentang sistem pendidikan di Finlandia bisa dibaca disini dan disini)

Menurut saya ada dua "kesalahan" dari "wacana" mengenai Full Day School ini. Yang pertama, wacana ini terkesan mendadak, tergesa-gesa untuk di lontarkan. Sebagai orang yang memiliki jabatan Muhajir Effendi seharusnya memahami bahwa apapun yang dia ungkapkan terlebih dihadapan media, merupakan ucapan dia sebagai seorang menteri, bukan obrolan beliau sebagai orang biasa (obrolan warung) yang bisa dianggap angin lalu dan tak perlu ditanggapi. Butuh pemikiran dan persiapan yang baik dan matang. Terlebih saat pertama kali dilontarkan tidak ada penjelasan detail mengenai konsep Full Day School yang dimaksud, baru kemudian keesokan harinya ada penjelasan yang (agak) detail mengenai konsep yang dimaksud. Namun ada jeda waktu yang cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah polemik (terlebih di era dimana orang bebas mengungkapkan pendapat di berbagai media sosial). Menjadi anti klimaks ketika sore harinya beliau kembali mengungkapkan bahwa apa yang beliau katakan sebelumnya baru berupa wacana yang tidak harus terlaksana, sementara polemik, diskusi dan debat mengenai hal ini sedang hangat-hangatnya. Perlu dipahami juga kalau emikiran dan persiapan matang tidak mesti juga memakan waktu lama dalam memutus/ mengungkapkan gagasan.

Hal kedua yang menurut saya sebagai sebuah kesalahan (fatal) adalah klaim beliau kalau beliau terinspirasi dari sistem pendidikan di Finlandia. sebuah klaim yang segera mendapatkan bantahan disertai fakta-fakta karena sistem pendidikan di Finlandia tidak sesederhana itu (bahkan pembelajaran di sekolah - terutama sekolah dasar tidaklah sepanjang jam belajar di Indonesia). Tidak ada salahnya meniru/terinspirasi oleh sistem pembelajaran di negara lain, terlebih sistem pendidikan di Finlandia diakui sebagai yang terbaik di dunia. Tapi perlu dilihat baik-baik esensi (inti) dari sistem pendidikan di negara tersebut dan mana yang bisa diambil dan diterapkan di negara kita. Jangan sampai gagal paham seperti kemarin, hanya karena anak-anak di Finlandia pulang pukul 3-4 sore dikiranya mereka full day school, padahal aslinya mereka masuk sekolah pukul 8-9 pagi.

Kesimpulan:
Banyak kekurangan dalam sistem pendidikan Indonesia. Semua orang menginginkan perubahan dan pembenahan agar lebih baik yang pada akhirnya menghasilkan anak didik yang mumpuni. Dan Menteri Pendidikan sebagai pemimpin yang mengarahkan perubahan dan pembenahan tersebut harus memiliki kebijakan dan strategi dalam melangkah. Semoga harapan semua orang agar pendidikan Indonesia lebih baik bisa terlaksana, dan "kesalahan" di awal masa kepemimpinannya ini menjadi bahan pembelajaran untuk kedepannya bisa mengeluarkan kebijakan yang pas dan diperlukan.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites