Foto diambil dari sini |
Akhir-akhir ini kita sering sekali mendengar, melihat dan membaca kejadian pemerkosaan/ pelecehan seksual dengan korban anak dibawah umur. Ada yang siswa/siswi SMP, SD bahkan balita pun juga ada. Walaupun pemberitaannya sudah sayup-sayup terdengar di TV, koran maupun media sosial, namun masih bisa kita temui dan baca beritanya dengan bantuan mbah Google (salah satu hasil pencariannya bisa dibaca disini).
Kasus terbaru yang masih amat sangat hangat (karena kejadiannya baru akhir bulan Agustus kemarin) adalah prostitusi anak yang terjadi di Bogor (salah satu artikel tentang hal ini bisa dibaca disini). Terlepas dari prostitusi anak tersebut untuk homoseksual ataupun heteroseksual, menurut saya prostitusi anak tidak seharusnya dan tidak selayaknya terjadi. Seorang anak tidak selayaknya dan sepatutnya melakukan hubungan seksual. Seorang anak seharusnya menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan bermain dan belajar, mengeksplorasi dunia dan berkreatifitas.
Saya yakin dalam kegiatan seksual anak menjadi obyek/ korban seksual, pun juga dalam kegiatan prostitusi anak. 80% bahkan 100% (perkiraan kasar saya) anak yang berkecimpung dalam prostitusi bukan atas kemauan sendiri, entah di bujuk, di rayu ataupun diancam oleh orang lain. Yang celakanya banyak juga kasus dimana pihak terdekat dari anak bersangkutan yang justru memasukkan anak ke dunia prostitusi (entah keluarga, tetangga ataupun kenalan).
Harus dipahami bersama bahwa kegiatan seksual merupakan hak prerogatif orang dewasa, dimana seseorang sudah matang secara baik fisik maupun mental. Sehingga dia tahu dan memahami apa yang terjadi serta konsekuensi ketika dia melakukan hubungan seksual.
Ketika seorang anak dipaksa untuk melakukan hubungan seksual, konsekuensi jangka panjangnya akan jauh lebih banyak daripada orang dewasa yang dipaksa untuk berhubungan seksual. Secara logika, masa depan seorang anak usia dibawah belasan tahun lebih panjang dibanding orang dewasa usia diatas 20an tahun. Kejadian pemaksaan hubungan seksual terhadap anak (baik melalui prostitusi maupun pemerkosaan) akan menimbulkan trauma bagi anak bersangkutan, ibaratnya menjadi sebuah luka yang susah (atau bahkan tidak bisa) sembuh.
Ada teori (dari ahli psikologi terutama) yang menyatakan bahwa kebanyakan pelaku pedofilia dulunya merupakan korban (artikel mengenai pedofilia bisa dibaca di halaman wikipedia, jangan lupa juga dibaca halaman tentang Hebefilia dan Efebofilia). Salah satu contoh pedofil yang dulunya mantan korban adalah babe seorang "pengasuh" anak jalanan yang tega "memakan" anak asuhannya sendiri. Bisa dibayangkan para korban pedofilia kemungkinan masa depannya akan seperti apa. Tidak kalah parahnya, ada pedofil yang membunuh obyek seksualnya, sebelum atau sesudah melakukan hubungan seksual.
Sebuah kejadian yang sepantasnya menjadi perhatian bersama. Pemerintah terutama harus mengambil langkah cepat dan tepat dalam mengatasi dan mencegah kejadian ini berulang di kemudian hari. Penutupan dan pemblokiran akses terhadap prostitusi anak (baik online maupun offline), edukasi kepada masyarakat (anak-anak, orang tua maupun masyarakat umum) bekerja sama dengan berbagai pihak (sekolah, RT, RW, Rukun Warga, Dharma Wanita, LSM, dan siapapun pihak yang peduli dengan masa depan anak-anak). Dan yang tak kalah pentingnya adalah pemberian hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku Pedofilia, Hebefilia dan Efebofilia. Hukuman semacam hukuman mati ataupun kebiri suntik pantas untuk diberikan kepada mereka terlebih jika disertai dengan pemberatan berupa pembunuhan. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa hukuman tersebut tidak pasti menghilangkan jumlah kejadian, tapi secara logika, jika orang masih punya akal pasti akan berpikir berkali-kali sebelum melakukan hal tersebut. Demi mengejar kenikmatan sesaat masak mau mengorbankan kenikmatan selama-lamanya? Dipercepat menghadap Sang Pencipta sebelum bertobat?
Kalau ada yang berkomentar hukumannya tidak manusiawi, lebih tidak manusiawi mana dengan berhubungan seksual dengan anak dibawah umur terlebih disertai dengan pembunuhan?
Masyarakat, dalam hal ini keluarga juga harus lebih waspada, protektif terhadap anaknya. Perlakuan terhadap anak laki-laki dan atau perempuan harus sama karena kedua-duanya bisa menjadi korban. Pendidikan yang baik, membangun kedekatan secara fisik maupun emosi, batin terhadap anak. Membuat anak merasa nyaman, aman dan mudah bercerita jika ada permasalahan. dan terlebih lagi, peka terhadap gejala sosial yang ada, sehingga bisa langsung mengambil tindakan pencegahan agar tidak terjadi pada keluarga. Jangan hanya "peka" saat tetangga membeli mebel baru, ganti kendaraan yang lebih mahal dan modern dibandingkan yang dimiliki. Peka saat rumah tangga orang lain tengah dilanda gonjang-ganjing yang diwarnai dengan piring beterbangan & pekikan-pekikan "nan indah"
Apalagi gonjang-ganjing dunia artis atau orang terkenal lainnya, haduuuuh... itu nggak penting... Mereka mau jumpalitan kayak apa juga nggak akan berpengaruh pada hajat hidup orang banyak. Hanya karena seorang terkenal tidak mau mengakui anaknya, listrik, gas LPG, bensin nggak akan naik, harga sayur, daging, ayam, telur maupun sembako juga nggak akan bakal naik gara-gara hal tersebut. Nggak usah membicarakan aib orang lain, sementara masing-masing dari kita punya aib sendiri-sendiri.