Cerita ini terjadi beberapa waktu lalu saat ujian, saya lupa ujiannya apa. Yang saya ingat waktu itu saya nggawas di kelas 9. Saya nggawas bersama seorang guru senior (secara usia maupun kepangkatan), sebut saya namanya Mr. X (bukan profesor X yah :D).
"Selamat pagi semuanya, ada yang kurang sehat hari ini?" Sapa Mr. X kepada anak-anak.
Weh... Koq agak-agak berasa gimana itu yah sapaannya? Kenapa nggak bilang
"Sehat-sehat semuanya?" atau
"Ada yang sakit/ tidak enak badan hari ini?"
Oh well.... dan ternyata sapaan tersebut di tanggapi oleh anak-anak. Salah satu (sebut saja namanya Tulkijo) yang duduk di belakang menjawab
"Kurang uang pak." Katanya dengan nada bercanda sambil senyam-senyum.
Mr. X dengan nada agak naik bertanya
"Apa Jo?"
Entah beliau beneran nggak dengar dengan jelas atau alasan yang lain.
"Kurang uang pak." Kata Tulkijo dengan nada mbleret (lebih rendah, agak-agak di seret).
"Apa! Coba ulangi!" Kata Mr. X dengan nada yang lebih tinggi.
Dan (seperti yang sudah di duga), semakin mbleret lah si Tulkijo di bentak oleh Mr. X . Adegan pun berlanjut ke Mr. X memahari Tulkijo karena clometan (suka menyeletuk).
Tulkijo memang anaknya suka becanda, menganggu temannya, nyeletuk saat pelajaran, tidur dan berbagai tingkah kenakalan dan kejahilan serta kejahilan lainnya saat di sekolah. Celetukannya sering kali keluar jalur, namun tak jarang masih di "jalur yang benar" kalau saya bilang lebih ke arah pencair suasana. Tinggal bagaimana kita menghadapinya.
Salah satunya di kejadian ini, Mr. X sebenarnya dikenal sebagai guru yang cukup dekat dengan anak-anak, sering becanda dengan mereka. Entah beliau saat itu tengah ada pikiran/ masalah di luar sekolah yang terbawa ke tempat pekerjaan. Atau beliau berpikiran negatif terhadap Tulkijo yang sudah ber "cap" anak bandel karena tingkahnya sejak kelas 7.
Saya merasa berada di posisi serba salah, saya tahu kalau Tulkijo tidak salah, bahwa kemarahan Mr. X salah sasaran, namun saya tidak bisa menegur/ menasehati Mr. X. Saya tidak bisa menemukan cara/ kata-kata yang pas, tidak menyinggung perasaan beliau dan tidak berkesan menjatuhkan beliau (terlebih di hadapan anak-anak).
Yang pada akhirnya saya lakukan adalah saya membesarkan hati Tulkijo, saat membagikan soal maupun saat meneliti pekerjaan anak-anak, saya sampaikan ke dia.
"Yang sabar ya Jo, jangan dimasukin hati. Hanya salah paham. Saya tahu koq kalau kamu tidak salah."
Semoga saja dia bisa menerima kata-kata saya, dan bisa "mengalah" walaupun dia masih kecil. Yang jelas, semula wajah dia ditekuk agak-agak gondok karena habis dimarahi, jadi sedikit berkurang. Terlebih saat melihat Mr. X ketiduran, dia yang paling semangat bilang:
"Pak di foto pak... "
"Jangan..." Kata saya sambil tersenyum
"Loh pak... Mr. X suka foto anak-anak klo pada lagi tidur di kelas loh..." Kata Tulkijo yang di iya kan oleh teman-temannya.
Sekali lagi saya cuman ketawa kecil, walaupun dalam hati pengen juga ambil foto, tapi ya .. nggak sampai hati. Belum lagi ntar jadi gaduh kalau saya menuruti permintaan mereka.
Gagal paham, sering kali terjadi antara peserta didik dan guru, bukan hanya guru yang gagal paham terhadap apa yang disampaikan oleh peserta didik, tak jarang peserta didik yang gagal paham terhadap apa yang disampaikan oleh guru. Kehati-hatian oleh kedua belah pihak, mengatur emosi (terlebih guru sebagai yang lebih tua dan di tuakan) dan komunikasi yang baik.
Saya pun sering kali mengalami gagal paham, terlebih kalau masuk kelas, yang satu bilang A, lainnya menyeletuk, yang lain lagi bilang apa lagi. Banyak informasi yang masuk, susah untuk saya tangkap. Biasanya saya akan bertanya dengan yang bersangkutan
"Apa? Ulangi saya tidak dengar." Dengan nada suara yang biasa, tidak naik yang menimbulkan kesan saya marah.
Dan kalau si anak mbeleret, saya akan berkata
"Apa? Ulangi tho, saya mana denger kalau kamu ngomongnya kayak gitu." Sambil menjaga nada suara saya tetap biasa dan kalau perlu mendekat kepada anak yang bersangkutan.
Dan ternyata hasilnya lebih positif, melatih anak untuk bisa mengungkapkan (berkomunikasi) dengan baik dan mencegah terjadinya gagal paham diantara guru dan peserta didik.